Senin, 18 Januari 2010

Hukum dan Perilaku

HUKUM DAN PERILAKU

Berawal dari kebutuhan untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat, akhirnya hukum berkembang menjadi sistem yang canggih. Hukum romawi-yunani disebut-sebut puncak dari pengembangan hukum sebagai institute yang canggih. Kecanggihan tersebut harus dibayar mahal oleh masyarakat untuk menciptakan dan mendatangkan keadilan dalam masyarakat, hukum malah lebih sering menjadi problem daripada menyelesaikan problem keadilan. Keadilan memang merupakan sesuatu yang abstrak tetapi sekaligus sangat diharapkan dan dinanti-nanti oleh masyarakat. Selama ribuan tahun lamanya orang berhukum dengan cara yang boleh disebut lebih alami atau subtansial, yaitu perburuan keadilan. Dari situ kemudian mengalir yang lain-lain, seperti logika dan prosedur hukum, personel-personel dan administrasi yang khusus. Oleh sebab itu hukum tidak hanya dikonsepkan sebagai peraturan (rules) melainkan juga perilaku manusia (behaviour).
Manusia tidak memulai kehidupan bersamanya dengan membuat system hukum, melainkan membangun suatu masyarakat. Baru dari kehidupan bersama yang bernama masyarakat itu dilahirkan hukum. Masyarakat itulah yang menjadi wadah sekalian aktivitas para anggotanya. Maka pekerjaan rumah pertama adalah membangun suatu kehidupan bersama di atas individu para anggotanya. Masyarakat sebagi kebersamaan itu dibangun di atas basis kepercayaan dan saling membutuhkan. Dalam pada itu, hukum (modern) dibangun di atas massa perundang-undangan, prosedur, birokrasi dan sistem. Untuk menghadirkan suatu masyarakat yang berkualitas baik, dibutuhkan cara hidup bekerja-bersama, bukan berhadap-hadapan dan berbenturan. Membangun suatu kehidupan bersama tidak dapat sama sekali mengabaikan keduanya, yaitu kepercayaan dan kerja sama. Maka tidak berlebihanlah manakala dikatakan, bahwa keduanya merupakan batu-batu yang membangun suatu masyarakat, kepercayaan dan kecenderungan bekerja sama tersebut merupakan symbol dari “masyarakat yang sehat”, “hidup yang baik” dan “perilaku serta budi pekerti yang baik”. Kejujuran, kesantunan, dapat dipercaya, penghormatan terhadap orang lain, kepedulian terhadap sesama, tidak berbuat curang dan jahat kepada orang lain adalah beberapa contoh berperikehidupan yang baik. Perkembangan masyarakat terutama melalui modus perekonomiannya mendorong munculnya suatu kehidupan bersama yang semakin terstruktur dan dikonstruksikan dengan sengaja. Pembangunan hukum yang mengingkari dasar-dasar tersebut akan terkena hukuman (sanksi). Hukuman ini, seperti dikatakan karl renner dapat terjadi dalam bentuk dinamika masyarakat yang mencari jalannya sendiri untuk muncul apabila dibendung oleh kontruksi hukum yang artifisial.
Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional. Panggung hokum pun sudah bergeser dari dunia nyata ke dunia maya yang terdiri dari kalimat dan kata-kata. Setiap kali membuat rumusan tertulis, maka setiap kali itu pula kita mereduksi suatu gagasan yang utuh ke dalam suatu kalimat. Perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi dan mendorong kebutuhan akan perumusan atau konstruksi seperti itu. System perekonomian modern yang kapitalistis misalnya, sangat membutuhkan kepastian dan ketepatan. Oleh karena itu, dibutuhkan tipe hukum baru yaitu hukum yang dirumuskan secara pasti. Dengan berpedoman kepada hokum yang demikian itu, proses-proses ekonomi, perencanaannya dan sebagainya dapat dilakukan dengan lebih baik. Berhukum yang mendasarkan pada teks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum secara kaku dan regimentatif. Cara berhukum yang demikian itu, apalagi yang sudah bersifat eksesif, menimbulkan persoalan besar, khususnya dalam hubungan dalam pencapaian keadilan. Apabila hukum itu cacat sekjak dilahirkan maka penyebabnya karena kita merumuskan sebuah subtansi, ide, ke dalam kalimat, kata-kata tau bahasa. Hukum modern tidak dapat menghindari dari penciptaan dan penggunaan teks-teks yang dibuat secara rasional. Di lain pihak hukum tertulis itu tidak dapat menggantikan secara sempurna hukum sebagai suatu kaidah alami.
Hukum yang oleh positivis dilihat sebagai teks dan mengeliminasi factor serta peran manusia, mendapatkan koreksi besar dengan menempatkan peran manusia tidak kurang sebagai posisi sentral. Hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi “hidup”. Dalam kepustakaan sosiologi hukum perantaraan seperti itu disebut sebagai mobilisasi hukum. Perilaku dan tindakan manusia itu dapat menambah dan mngubah teks. Penegakan hukum (law enforcement) adalah konsep normatif, di mana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan. Menurut Cotterrell, Negara hanya menyediakan fasilitas melaui pembuatan hukum dan untuk selebihnya diserahkan kepada rakyat. Diserahkan kepada rakyat berarti menerahkan pilihan kepada rakyat tentang apa yang ingin dilakukannya, apakah menggunakan hukum atau tidak. Hukum sebagai perilaku itu muncul secara serta merta atau spontan lewat interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Perilaku hukum yang tampak sebagai mematuhi hukum tidak selalu bertolak dari kesadaran untuk patuh kepada hukum. Ilmu hokum sebagai sebenar ilmu (genuine science) tidak hanya harus dapat membaca hukum sebagai perilaku tersebut. Tetapi tidak dapat memaksakan, melainkan dengan terbuka melihat dan menerima apa yang terjadi dalam kenyataan. Sistem hukum modern ituakan tetap berdampingan dengan hukum yang muncul secara spontan, seperti dalam bentuk perilaku.
Kehidupan normatif suatu bangsa tidak dimulai sejak kehadiran dan penggunaan hukum atau hukum modern, melainkan sudah jauh menjorok ke masa sebelumnya, menjorok keabad-abad lalu yang jauh. Kehadiran hukum modern memang telah mengubah secara radikal cara bangsa-bangsa di dunia berhukum, tetapi sejarah kehidupan normatif suatu bangsa tidak dimulai dari situ tapi perilaku subtansial itulah yang merupakan awal dan melandasi kehidupan berhukum manusia. Kehidupan bersama manusia dimulai dari ikatan normatif berupa kesantunan hidup dan baru di belakang nanti muncul system hukum formal. Demikian pula dengan kehadiran hukum di luar Negara, yang mewakili hukum yang spontan di tengah-tengah dominasi negara sebagai simbol hukum yang dibuat dengan sengaja. Kaidah-kaidah muncul secra serta-merta dari interaksi antara para anggota masyarakat. Ini adalah cara berhukum melalui perilaku in optima forma. Dikatakan demikian, oleh karena berhukum dengan teks sesungguhnya pada akhirnya juga berujung pada perilaku, tetapi perilaku yang diproyeksikan pada teks hukum.
Hukum modern yang umum dipakai di dunia dewasa ini memiliki sejarah pembentukan dan perkembangan yang sangat panjang, oleh karena itu perkembangan hukum modern itu harus berbarengan dengan transformasi-transformasi sosial, politik, ekonomi dan kultural. Lokalitas atau tempat di mana persemaian, pertumbuhan dan perkembangan hukum modern adalah eropa yang juga disebut dunia barat. Berbeda dengan kosmolog, maka dibarat, manusia adalah seorang individu yang penuh dan otonom. Ia bebas berpikiran, bercita-cita, dan berkehendak tanpa harus memedulikan dan dikekang oleh kerangka sosialitas yang lebih besar. Maka menyusul ambruknya tatanan feodal terjadilah pula keambrukan-keambrukan tatanan sampai akhirnya muncul tatanan yang demokratis, tidak absolute-otoriter dan seterusnya, tapi tatanan sosial-politik mutakhir inilah yang memunculkan hukum modern. Secara teori bahwa system hokum modern yang sudah menyebar di dunia itu hanya bekerja efektif pada bangsa-bangsa yang memilki sekalian karakteristik yang sama dengan eropa. Dalam pada itu, dunia ini adalah sebuah komunitas besar sarat dengan kemajemukan, baik dalam kosmologi maupun dalam perkembangan sosial-politiknya. Bagi Indonesia hokum modern itu juga tidak diciptakan dari dalam bahasa Indonesia melainkan hukum yang didatangkan dan dipaksakan dari luar yaitu eropa.
Cara berhukum subtansial adalah yang dimulai dari interaksi antara para anggota suatu komunitas sendiri yang kemudian menimbulkan hukum. Interaksi tersebut adalah sebuah proses kimiawi yang akan menghasilkan sebuah pola yang mapan dan poada akhirnya berfungsi sebagai hukum. Untuk melacak munculnya berhukum secara subtansial itu kita memasuki ranah sosiologi dan ilmu keperilakuan. Apabila memasuki tatanan adjudication yang sudah dikemas dalam teks hukum itu, maka kita tidak lagi bergerak pada arah berhukum subtansial. Dengan demikian diperlukan semacam mekanisme agar hukum artifisial maka berhukum secara subtansial memang muncul dari pertimbangan akal sehat dan dikendalikan oleh akal sehat tersebut.
Perubahan memiliki akibat yang sangat luas dan mendalam, oleh karena itu hukum bergeser dari sebuah institusi moral menjadi suatu instrument dan teknologi. Hukum modern tidak lagi sepenuhnya merupakan institute mural, melainkan juga birokrasi yang sarat dengan prosedur. Sebagai Negara hukum Indonesia membutuhkan para profesional hokum untuk menggerakan roda Negara hukum tersebut. Salah satu hasil dari pembelajaran profesional adalah terciptanyasuatu pola dan cara berpikir tertentu para profesional dibidang hukum.
Perilaku hukum melalui teks merupakan perilaku yang unik, oleh karena tidak alami. Maka semakin mapan system hukum dan semakin ekstensif hukum dugunakan, semakin menonjol perilaku berhukum orang dalam masyarakat. Berhukum melalui teks dimulai dengan pengetahuan mengenai isi teks yang kemudian diendapkan ke dalam apa yang disebut kesadaran hukum dan dari kesadaran hukum itu melahirkan suatu sikap hukum dan dari sikap itu baru lahir perilaku hukum. Berhukum melalui perilaku itu adalah melakukan perbuatan subtansial tenpa menyadari, bahwa sesungguhnya ia sedang melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam teks. Hukum itu mengatakn bahwa (1) hakim mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang; (2) hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat; (3) dalam menimbang berat ringannya pidana, hukum wajib memerhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh. Itulah skema yang disediakan oleh hukum dan harus diisi oleh hakim-hakim kita. Dengan demikian hakim itu bukan sekedar skema tetapi perilaku.
Sekalipun institut dan kekuatan sosial- politik lama hampir dibabat oleh Negara pemegang hegemoni kekuasaan. Kendati demikian, orde Negara tidak dapat menghilangkan kekuatan sosial-politik lamayang digusurnya. Dimana kekuatan-kekuatan tersebut muncul menandingi orde Negara yang disebut perilaku hukum di luar Negara. Bahwa cara berhukum itu tidak dapat diwadahi dengan ketat hanya dalam wadah Negara yang resmi. Kaum positivis mengeliminasi perilaku sebagai bagian penting dari hukum dan mengatakan bahwa hukum adalah suatu sistem rasional. Masyarakat itu bukan suatu bangunan yang simetris melainkan memuat banyak kesimpangsiuran yang muncul dari sekian banyak interaksi antara para anggota masyarakat. Masyarakat adalah ajang dari sekian banyak interaksi yang dilakukan antara orang-orang yang tidak memiliki kekuatan yang sama sehingga terjadilah suatu hubungan berdasar adu kekuatan (power relationship). Maka muncul tatanan asimetris. Diluar sistem teks, hokum adalah perilaku manusia dan yang terakhir ini menjadilakan hokum itu kompleks serta tidak dapat diramalkan dengan tepat. Membaca peta perilaku adalah membaca proses-proses yang cair sedangkan teks dan sistem teks itu adalah finite scheme.
Pendidikan hukum adalah suatu tipe pendidikan yang benar-benar mampu melahirkan perilaku hukum subtansial. Sejak munculnya hukum modern maka perjalanan hukum menghadapi simpangan yaitu antara memburu keadilan dan menerapkan hukum. Pembangunan hukum yang memerhatikan dinamika otonom dari masyarakat dalam berhukum tidak akan segera membuat suatu perencanaan yang dianggapnya baik, melainkan memerhatikan bagaimana masyarakat akan bereaksi terhadap rencana tersebut. Perubahan subtansial oleh masyarakat akan lebih besar kekuatannya daripada perubahan yang direncanakan secara rasional oleh negara. Merencanakan hukum adalah suatu tindakan sengaja yang dilakukan dengan perhitungan rasional.
Hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakatnya, maka cara berhukum suatu bangsa adalah unik dan bervariasi sesuai dengan kehidupan sosialnya. Kembali ke alam adalah asas besar moral yang baik sekali dalam berhukum. Hukum tidak hanya dapat melihat ke dalam dirinya sendiri dan berjalan serta berbuat apa yang ia kehendaki. Oleh sebab itu, hukum tidak boleh berlawanan dengan alam kecuali menghasilkan hukum yang buruk. Fundamental hukum adalah kembali ke alam karena lebih praksis yang lebih jujur dan otentik. Berhukum secara subtansial adalah berhukum yang memerhatikan ordinatnya dengan lingkungan. Bertolak dari optik dan persepsi yang demikian, maka setiap kali hukum gagal untuk merangkul alam, dipastikan akan terkena penalti.
Masyarakat yang baik adalah yang mampu bertahan dengan menata dirinya dengan menggunakan cara-cara membangun kehidupan yang baik. Dasarnya adalah membangun perilaku baik para anggota masyarakatnya, bukan dengan membuat perturan formal. Kvutza adalah suatu kelompok besar dimana anggota-anggotanya terlibat terus-menerus secara primer melalui interaksi tatap muka. Dengan demikian kontrol informal sangatlah efektif sehingga kurang memerlukan kontrol formal. Kebenaran fundamental apabila secara ekstrem adalah bahwa manusia dapat membangun suatu kehidupan yang baik tanpa hukum, tetapi tidak tanpa perilaku yang buruk dalam lingkungan masyarakat.
Hidup dengan baik menciptakan dan menjaga keseimbangan sehingga hidup bersama-sama dengan orang lain benar-benar menjadi kenyataan. Ternyata cukup banyak faktor yang turut menentukan apakah seseorang akan ditahan atau tidak, seperti : (1) ras/ etnis, (2) sifat serius aturannya, (3) bukti yang ada, (4) keingin pengadu, (5) hubungan sosial antara pengadu dan pelaku, (6) seberapa jauh menghormati polisi. Di atas sistem hukum yang baik tetap jauh lebih diperlukan masukan budi pekerti yang baik dan luhur. Perilaku hokum mempunyai subtansi atau bahan baku yang tidak lain adalah perilaku manusia. Oleh sebab itu, hukum tidak mampu menggantikan sifat-sifat perilaku baku manusia.

Rabu, 07 Oktober 2009

Ketatanegaraan

PRAKTIK KETATANEGARAAN KITA KE DEPAN
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Kemarin, DPP KNPI mengundang saya untuk menyampaikan uraian dengan topik Roadmap Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Kemanakah Arah Praktik Bernegara Kita? Topik ini mengingatkan saya ke masa awal reformasi ketika saya mengemukakan gagasan “Tidak Ada Reformasi Tanpa Amandemen Konstitusi”. Pergantian sebuah rezim tanpa perubahan sistem, sesungguhnya takkan banyak menghasilkan sesuatu yang ideal sebagaimana kita harapkan. Rezim baru yang penuh idealisme, lama kelamaan akan mengulangi pola-pola rezim sebelumnya dalam menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan itu menggoda. Ada kecenderungan umum dalam sejarah politik, sebuah rezim akan terus berupaya dengan berbagai cara — baik sah maupun tidak sah — untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam rangka itulah, maka penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur oleh norma-norma hukum, yang akan membentuk sistem bernegara itu. Sistem itu harus memberi jaminan agar semua pihak yang terlibat di dalam negara, baik lembaga-lembaga negara, maupun kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat, dapat melakukan kontrol atas jalannya sistem penyelenggaraan negara itu. Kontrol yang kuat, dan memberikan keseimbangan itu, kita harapkan akan memberi jaminan bahwa sistem akan berjalan sebagaimana kita inginkan.
Uraian singkat di atas itu menggambarkan kepada kita betapa pentingnya konstitusi bagi sebuah negara. Konstitusi itulah yang memberikan kerangka bernegara yang dianggap ideal bagi sebuah bangsa. Konstitusi itu meletakkan dasar-dasar sistem bernegara dan sekaligus mengatur mekanisme penyelenggaraannya. Tentu saja, konstitusi tidak mungkin akan mengatur segala-galanya. Rincian dari dasar-dasar itu dapat diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah seperti undang-undang atau konvensi ketatenegaraan yang tumbuh, diterima dan dipelahara dalam praktek penyelenggaraan negara. Konstitusi sebuah negara pada hakikatnya memuat gagasan-gagasan pokok bernegara bagi sebuah bangsa, yang di dalamnya dirumuskan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negaranya.
Sehari setelah kita menyatakan kemerdekaan, kita telah mengesahkan sebuah konstitusi, yang kemudian kita namakan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Filosofi bernegaranya telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar itu. Pemikiran filosofis itu kemudian dituangkanke dalam pasal-pasal konstitusi yang merumuskan sistem bernegara dan mekanisme penyelenggaraannya. Namun seperti telah kita maklumi, konstitusi itu hanya bersifat sementara, yang dimaksudkan hanya berlaku untuk setahun saja, sampai dirumuskannya konstitusi yang bersifat permanen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum. Namun, karena pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan, konstitusi itu berlaku dengan berbagai konvensinya, dan kemudian diganti dengan konstitusi yang lain, sampai dinyatakan berlaku kembali melalui dekrit Presiden pada tahun 1959.
Ketika Pemerintah – dalam hal ini Perdana Menteri Djuanda Kartawinata — mengusulkan kepada Konstituante agar kembali ke UUD 1945, telah timbul suara-suara yang mengkhawatirkan konstitusi itu akan menciptakan kediktatoran di negeri ini, karena kekuasaan Presiden yang begitu besar. Buya Hamka misalnya mengatakan di Konstituante bahwa kembali ke UUD 1945 itu bukanlah “shirat al-mustaqim” atau “jalan yang lurus” seperti dikatakan para pendukungnya, melainkan “shirat al-jahim”, yakni “jalan menuju ke neraka” karena akan membuka peluang kepada Presiden untuk menjadi diktator terselubung. Setelah UUD 1945 diberlakukan kembali, keadaan berkembang ke arah seperti dibayangkan oleh Buya Hamka itu. Walaupun UUD 1945 menyebutkan kedaulatan rakyat, namun tak sepatah katapun UUD 1945 itu menyebutkan adanya pemilihan umum. Professor Muhammad Yamin mengatakan bahwa pemilihan umum itu hanya alat saja untuk menegakkan demokrasi. Karena itu pemilihan umum bisa diselenggarakan bisa tidak, asal yang penting demokrasi bisa berjalan. Namun bagaimana demokrasi bisa berjalan, kalau seluruh anggota badan-badan perwakilan ditunjuk saja oleh Presiden?
Setelah Pemerintahan Presiden Soekarno digantikan oleh Pejabat dan kemudian Presiden Soeharto, rezim baru ini bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni dan konsekuen”. Orde Baru yang diciptakannya bertekad untuk melakukan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Namun seperti saya katakan di awal tulisan ini, rezim baru yang penuh idealisme lama kelamaan cenderung akan mengulangi prilaku rezim lama yang digantikannya. Tentu banyak perubahan yang terjadi selama Orde Baru terutama pada pembangunan sosial dan ekonomi, namun satu hal nampak berkesinambungan, yakni kecenderungan rezim untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan, dengan menggunakan pola-pola yang hampir sama. Media massa diberangus, tokoh-tokoh oposisi ditangkapi tanpa proses hukum dan partai politik yang berseberangan dipaksa membubarkan diri, dilakukan baik oleh Orde Lama maupun Orde Baru.
Pancasila dan UUD 1945 yang ingin dilaksanakan secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya ialah Pancasila dan UUD 1945 yang ditafsirkan menurut pandangan rezim yang memerintah. Di masa Orde Lama, tafsiran itu disosialisasikan melalui “indoktrinasi” dan masuk kurikulum pendidikan. Di zaman Orde Baru, sejak tahun 1978, tafsiran itu disosialisasikan melalui penataran-penataran dan masuk pula ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Baik indoktrinasi maupun penataran hakikatnya tetap sama: Rezim yang memerintah ingin agar rakyat memahami hakikat bernegara, sistem dan mekanismenya seperti yang mereka anut. Mereka yang menolak tafsiran itu bisa dianggap sebagai musuh bangsa dan negara. Di sini kembali lagi nampak adanya kesinambungan di tengah perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedua rezim sama-sama memanfaatkan kelemahan-kelemahan UUD 1945 yang sejak awal dimaksudkan hanya sebagai konstitusi sementara itu. Kelemahan itu sengaja disembunyikan, namun ditutupi dengan berbagai cara, mulai dari konsep pseudo-akademis sampai ke hal-hal yang berbau mistik. Presiden Soekarno menyebut Pancasila dan UUD 1945 “Azimat Revolusi”. Presiden Soeharto menyebut Pancasila itu “sakti”. UUD 1945 adalah warisan luhur bangsa yang “dikeramatkan”.
Berkaca dari pengalaman sejarah seperti secara singkat saya uraikan di atas itulah, maka seperti telah saya katakan, di awal reformasi saya menegaskan pendirian “tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi itu”. Di zaman Orde Baru, saya telah lama melontarkan gagasan amandemen konstitusi itu, baik dalam kuliah maupun dalam berbagai tulisan yang saya buat. Pendapat saya ketika itu dianggap sebagai pendapat “ekstrim kanan”. Saya menolak Eka Prasetya Pancakarsa dan tidak pernah mau mengikuti penataran P4 sampai kegiatan itu dihentikan oleh Presiden BJ Habibie. Kalau hanya rezim berganti, sementara konstitusi tidak diperbaiki dan disempurnakan, maka rezim baru yang dihasilkan oleh gerakan reformasi itu akan kembali mengulangi pola-pola yang dilakukan oleh rezim lama. Untuk merubah pandangan rakyat yang sudah cukup lama ditatar bahwa UUD 1945 tidak dapat dirubah kecuali melalui referendum, bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Namun akhirnya kesadaran muncul juga. Beberapa partai politik dalam Pemilu 1999 tegas-tegas menyuarakan perlunya amandemen konstitusi. Akhirnya perubahan konstitusi terjadi juga dalam empat tahapan perubahan, yang disebut dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat.
Dengan empat tahapan amandemen konstitusi itu, niat yang sesungguhnya dari para penggagas adalah untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negara kita, dengan bercermin pada pengalaman-pengalaman pelaksanaannya di masa yang lalu. Hal yang paling inti mengenai pembatasan masa jabatan Presiden, yakni selama lima tahun, namun hanya untuk dua periode saja, telah dilakukan. Hal ini mencegah diangkatnya Presiden seumur hidup seperti di masa Orde Lama, atau Presiden yang dipilih setiap lima tahun tanpa batasan periode seperti di zaman Orde Baru. Amandemen terhadap pasal tentang masa jabatan Presiden ini patut kita hargai. Di masa depan, kita harapkan tidak akan ada lagi Presiden seumur hidup atau dipilih berkali-kali tanpa batasan periode. Sistem ini akan mencegah terulangnya kekuasaan Presiden yang cenderung menyalahgunakan kekuasaannya karena memerintah terlalu lama.
Kita menyaksikan pula amandemen terhadap beberapa pasal yang membatasi kewenangan Presiden yang dinilai terlalu besar di dalam UUD 1945. Ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibalik menjadi kewenangan DPR. Namun Presiden tetap berhak mengajukan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan DPR. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat bahwa badan legislatif tidaklah hanya monopoli DPR. Badan ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak menyebabkan DPR menjadi badan legislatif, karena sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan Presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR dan untuk beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Keberadaan DPD memang baru samasekali di dalam UUD 1945. Saya termasuk salah seorang penggagas keberadaan lembaga ini, untuk menengahi polemik tentang negara kesatuan dan negara federal di masa awal reformasi. Saya tetap berpendirian bahwa negara kita adalah negara kesatuan, namun dapat mengadopsi keberadaan Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana pernah dibahas di Majelis Konstituante. Keberadaan DPD atau senat pada umumnya hanya ada di negara federal atau quasi-federal. Negara kesatuan yang memiliki lembaga seperti ini, pada umumnya mempertimbangkan kepentingan daerah yang multi etnik dan juga problema alamiah, yakni ketidakseimbangan penduduk yang mendiami berbagai daerah. Di Malaysia, misalnya antara Semenanjung Malaya dengan Sabah dan Serawak. Di Philipina antara Pulau Luzon dengan pulau-pulau lain di wilayah selatan, dan di negara kita antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau di luarnya. DPR yang dipilih melalui pemilihan umum, praktis akan didominasi oleh daerah yang padat penduduknya. Keberadaan DPD yang anggota-anggotanya sama pada setiap provinsi akan menjadi penyeimbang ketimpangan perwakilan akibat ketidakmerataan penduduk itu.
Pada saat yang sama, utusan daerah dan utusan golongan-golongan yang dulu dimaksud untuk menambah anggota DPR untuk membentuk MPR, digantikan dengan anggota DPD. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum menggunakan sistem proporsional, sementara anggota DPD dipilih dengan menggunakan sistem distrik. Tidak ada lagi anggota DPR maupun MPR yang diangkat. Ketidakjelasan jumlah anggota MPR dan pengertian “ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan” yang dapat dijadikan Presiden sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan, dapat dihindari, sebab jumlah maksimum anggota DPD adalah sepertiga anggota DPR seperti diatur dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945. Pada awalnya, saya menggagas bahwa dalam pembahasan RUU tentang APBN, otonomi daerah dan hubungan luar negeri, harus dibahas dalam sidang gabungan DPR dan DPD.
Namun diskusi terus berkembang dalam Badan Pekerja MPR, sehingga kewenangan DPD membahas RUU adalah seperti dirumuskan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen. DPD juga dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuanganpusat dan daerah. Pasal 22D ayat (2) itu juga mengatur kewajiban DPD untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Saya berpendapat memberikan pertimbangan itu tidak perlu, karena akan menempatkan ketidakjelasan posisi DPD sebagai sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan legislasi.
Saya berpendapat kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU sebagaimana di atas terlalu luas. Sebaiknya dibatasi hanya dalam membahas APBN, otonomi daerah dengan berbagai aspeknya, serta hubungan luar negeri saja. Namun keterlibatan lembaga ini dalam membahas ketiga hal itu benar-benar intensif, sehingga aspirasi daerah dapat terserap secara optimal. Dalam UU tentang Susunan Kedudukan DPR sekarang ini, keterlibatan itu tidaklah menonjol. DPD ditempatkan mirip sebuah fraksi dalam membahas RUU yang disebutkan Pasal 22D ayat (2) itu. Saya berpendapat akan lebih baik keterlibatan DPD membahas RUU dibatasi, namun keterlibatannya dilakukan secara penuh, dalam bentuk sidang gabungan DPR dan DPD. Berkaitan dengan hal itu, saya berpendapat bahwa DPD dapat mengusulkan – bukan mengajukan — RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah – yang kesemuanya dapat diringkaskan dengan istilah hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah –kepada DPR untuk dibahas bersama terlebih dahulu, sebelum DPR mengajukannya kepada Presiden. Mengenai kewenangan DPD melakukan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 masih memerlukan mekanisme yang lebih tepat untuk mencegah tumpang-tindih pengawasan dengan DPR. Bagi Pemerintah, juga menambah beban pekerjaan.
Dalam konvensi ketatanegaraan kita, Presiden selalu menyampaikan Pidato Kenegaraan di hadapan rapat paripurna DPR pada setiap tanggal 15 Agustus. Setelah ada DPD, saya menyarankan agar Pidato Kenegaraan itu disampaikan di hadapan rapat gabungan DPR dengan DPD. Tidak perlu ada dua kali pidato kenegaraan seperti dikehendaki oleh Pimpinan DPD sekarang ini. Langkah kompromi mengatasi keinginan Pimpinan DPD itu sebagaimana saya usulkan ialah Presiden menyampaikan pidato di hadapan DPD, tetapi bukan pidato kenegaraan, melainkan menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah. Namun, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita tetap saja menyebutnya sebagai pidato kenegaraan. Langkah kompromi ini saya anggap bersifat sementara saja. Langkah paling baik yang harus dilakukan ialah memisahkan Pidato Kenegaraan tanggal 15 Agustus dengan Pidato Kenegaraan Dalam mengawali Pembahasan RUU APBN dan Nota Keuangan, yang kedua pidato kenegaraan itu disampaikan dalam rapat paripurna gabungan DPR dan DPD. Sebagaimana kita maklum, tahun anggaran kita berlaku mulai 1 Januari setiap tahunnya. Pidato Kenegaraan mengawali pembahasan RUU APBN dapat dilakukan pada akhir Juli atau tanggal 1 Agustus setiap tahunnya.
Amandemen Konstitusi juga telah menciptakan lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK adalah suatu gagasan yang baik, untuk memeriksa perkara-perkara yang terkait langsung dengan konstitusi. Kekuasaan Kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang merdeka, memang harus terpisah secara ketat dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Pada masa saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM saya telah menuntaskan sebuah pekerjaan cukup berat yakni memisahkan kewenangan adiminstrasi, personil dan keuangan peradilan dari Pemerintah. Kini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara administrasi, personil dan keuangan benar-benar independen, apalagi dalam menangani perkara. Jadi, meskipun dalam hal legislasi ada pembagian kekuasaan antara Presiden, DPR dan DPD, namun dalam hal kekuasaan kehakiman, maka kekuasaan ini adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur-tangan lembaga manapun juga.
Mahkamah Agung berwenang memeriksa perkara pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali, memberikan pertimbangan kepada Presiden, dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Amandemen UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselesihan tentang hasil pemilihan umum. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah lahir. Saya mempersiapkan RUU ini dalam waktu singkat karena mengejar waktu pelantikan hakim-hakim MK pada tanggal 15 Agustus 2003, sesuai amanat MPR. Saya merasa bersyukur, tugas berat itu dapat dilaksanakan tepat pada waktunya.
Dalam hal kewenangan MK melakukan uji materil undang-undang terhadap UUD yang telah dilaksanakan dalam praktek, pada hemat saya masih diperlukan telaah mendalam, terutama pihak yang memiliki “legal standing” untuk mengajukan permohonan uji materil itu. Rumusan yang kini termaktub di dalam UU MK memberikan hak yang terlalu luas, termasuk kepada perorangan yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya sebuah undang-undang. Dengan minimal lima hakim, MK dapat menerima atau menolak permohonan itu. Pertanyaan filosofis bernegara yang belum terpecahkan sampai selesainya pembahasan RUU MK ialah apakah cukup kukuh landasan pemikirannya, jika seorang warganegara dan minimal lima hakim MK dapat membatalkan sebagian atau seluruh materi undang-undang. Padahal undang-undang itu dibuat oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, dan seluruh anggota DPR – bahkan mungkin juga melibatkan DPD – yang seluruhnya juga dipilih melalui pemilihan umum? Jawaban sementara atas pertanyaan ini ialah, semua warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. MK adalah penjaga konstitusi. MK memeriksa dan memutus permohonan uji materil secara murni normatif dan akademis, demi menjaga agar konstitusi tidak dilanggar oleh kepentingan politik atau kesalahan konsepsi normatif ketika lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan legislasi membuat undang-undang itu.Hal yang menyangkut sengketa kewenangan, pada hemat saya haruslah dibatasi hanya pada lembaga-lembaga negara di tingkat pusat saja. MK tidak perlu menangani sengketa kewenangan lembaga-lembaga pemerintahan pada tingkat daerah.
Hal yang krusial mengenai kewenangan MK ialah ketika terjadi proses impeachment terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden.Keberadaan impeachment adalah konsekuensi dari Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan perubahan kewenangan MPR setelah amandemen UUD 1945. Mekanisme impeachment telah jelas dirumuskan dalam UUD 1945. Hal krusial ialah mengenai alasan-alasan untuk melakukan impeacment sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yakni jika DPR berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden “telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Ketika saya menyiapkan RUU Mahkamah Konstitusi dan membahasnya bersama DPR, kami menyepakati untuk mengembalikan segala sesuatu yang dirumuskan di dalam Pasal 7B ayat (1) ini kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian MK mempunyai pedoman untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR itu dengan merujuk kepada bukti-bukti yang sah, agar ketentuan Pasal 7B itu tidak disalahgunakan secara politik untuk menjatuhkan Presiden. Masalah yang masih tersisa sehubungan dengan penjabaran ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 ini ialah, apakah setelah MK katakanlah memutuskan bahwa pendapat DPR adalah benar, apakah Presiden dan/atau wakil Presiden masih dapat diadili di peradilan umum untuk dijatuhi sanksi pidana atas kesalahannya. Walaupun MK telah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan kesalahan, namun secara politik belum tentu MPR akan memutuskan untuk memberhentikan Presiden. Segalanya tergantung pada keputusan MPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B ayat (3), (7) dan (8) UUD 1945.
Dengan amandemen UUD 1945, kedudukan DPR telah diperkuat, bukan saja dalam kewenangan legislasi, namun juga dalam hal anggaran dan pengawasan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Inilah sesungguhnya inti dari sistem pemerintahan Presidensial yang kita anut. Para menteri adalah pembantu Presiden, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden. DPR memang memiliki wewenang melakukan pengawasan, namun tidak dapat “memanggil” para menteri yang dapat menimbulkan kesan bahwa yang satu adalah bawahan dari yang lain, apalagi meminta pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban akhir penyelenggaraan pemerintahan negara, sesungguhnya terletak di tangan Presiden. DPR juga tidak dapat mendesak Presiden untuk memberhentikan menteri, karena pengangkatan dan pemberhentiannya adalah kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara yang lain.
Suatu hal yang memerlukan kehati-hatian yang tinggi ialah mengenai pemerintahan di daerah. Seperti telah saya katakan, Indonesia adalah sebuah negara kesatuan, namun sentralisme yang berlebihan sebagaimana dipraktekkan di masa lalu, telah dikurangi dengan otonomi daerah. Setelah amandemen, pengaturan tentang pemerintahan daerah, jauh lebih jelas dibandingkan ketentuan sebelumnya. Namun UU tentang Pemerintahan Daerah kiranya perlu dievaluasi untuk mencegah semangat kedaerahan yang berlebihan. Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah ada baiknya juga dikaji ulang untuk mencegah politik biaya tinggi, yang dapat membawa implikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di daerah. Seringnya Pilkada, baik gubernur, bupati/Walikota, bahkan sampai pada pemilihan kepala desa dan kepala dusun, disamping berpotensi menimbulkan instabilitas politik di daerah, juga dapat memalingkan perhatian rakyat dari pembangunan sosial ekonomi ke bidang politik. Telaah tentang hal ini pada akhirnya akan membawa kita kepada perdebatan yang muncul di awal reformasi, yakni apakah otonomi daerah itu diberikan kepada kabupaten/kota atau kepada provinsi. Setelah sepuluh tahun reformasi, ada baiknya kita merenungkan kembali hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam suasana yang lebih jernih.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini sampai di sini. Masih banyak hal yang belum disinggung dan dibahas dengan lebih mendalam. Insya Allah, saya akan menuliskannya lagi pada kesempatan-kesempatan yang akan datang, untuk menjadi bahan diskusi bagi siapa saja yang berminat membahas ketatanegaraan kita. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kejernihan berpikir dan kebesaran jiwa kepada kita semua dalam membahas masalah yang sangat penting bagi kemajuan bangsa dan negara kita di masa depan.
Wallahu’alam bissawwab.

Rabu, 05 Agustus 2009

PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA

MEMPELAJARI PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA MELALUI PENDEKATAN KEBUDAYAAN POLITIK

Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.

Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.

Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.

Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.

Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.

Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.

Corak pertama terdapat pada golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk memaksakan subyektifisme mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini biasanya melahirkan sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua cirak ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang otoriter/totaliter.

Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks Pancasila.

Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.

Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.

Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:

1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya

Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.

Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.

Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.

Senin, 25 Mei 2009

Akselerasi Anak Berbakat

DETEKSI DINI TERHADAP ANAK-ANAK BERBAKAT
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus” (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya” (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.
Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:
• Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
• Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidan gbahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
• Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
• Kemampuan memimpin yan gmenonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
• Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.
Pada zaman modern ini orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka “cepat menjadi pandai.” Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan “perilaku aneh” dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.
Tanda-tanda Umum Anak Berbakat
Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.
Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi “kehausan” akan informasi.
Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulsiannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yan gtidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.
Pelayanan bagi Anak Berbakat
Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.
Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara “lompat kelas”, artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk: (1) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun (2) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja. Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.
2) Home-schooling (pendidikan non formal di luar sekolah). Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/di luar sekolah, yang sering disebut home-schooling. Dalam home-schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat program khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan. Pada suatu ketika jika anak sudah siap kembali ke sekolah, maka ia bisa saja dikembalikan ke sekolah pada kelas tertentu yang cocok dengan tingkat perkembangannya.
3) Menyelenggarakan kelas-kelas tradisional dengan pendekatan individual. Dalam model ini biasanya jumlah anak per kelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam daripada anak lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin akan dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangan dan ritme belajarnya.
4) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat. Dalam hal ini anak-anak yang memiliki bakat/kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas tradisional bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini pun harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan daripada pendekatan klasikal. Kelas khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajarannyapun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Pergaulan Anak Berbakat
Anak berbakat seringkali lebih suka bergaul dengan anak-anak yang lebih tua dari segi usia, khususnya mereka yang memiliki keunggulan dalam bidang yang diminati. Misalnya saja ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat suka bermain catur dengan orang-orang dewasa, karena jika ia bermain dengan teman sebayanya rasanya kurang berimbang. Dalam hal ini para orang tua dan guru harus memakluminya dan membiarkannya sejauh itu tidak merugikan perkembangan yang lain.
Di dalam keluarga pun oran gtua hendaknya mencarikan teman yang cocok bagi anak-anak berbakat sehingga ia tidak merasa kesepian dalam hidupnya. Jika ia tidak mendapat teman yang cocok, maka tidak jarang orang tua dan keluarga, menjadi teman pergaulan mereka. Umumnya anak berbakat lebih suka bertanya jawab hal-hal yang mendalam daripada hal-hal yang kecil dan remeh. Kesanggupan orang tua dan keluarga untuk bergaul dengan anak berbakat akan sangat membantu perkembangan dirinya

Minggu, 26 April 2009

Filsafat

Pendidikan Filsafat
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban manusia. Ia selalu terkait berkelindan satu sama lainnya. Tidak terkecuali sejarah filsafat ilmu. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini. Sejarah ilmu pengetahuan mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM). Di mana periode ini ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigm shift) dari hal-hal yang berbau mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio.
Persoalan sejarah ilmu pengetahuan tidak berhenti di situ saja, selanjutnya terjadi semacam saling tarik-menarik yang saling mendominasi antar berbagai ide pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia ilmu yang beraras pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan kemaslahatan manusia itu sendiri menjadi semacam tonggak dasar dari munculnya perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat dari fenomena pertentangan yang bahkan saling melemahkan dalam dunia filsafat Yunani kuno hingga zaman-zaman selanjutnya. Contoh hal tersebut adalah perbedaan pandangan paham rasionalisme yang dianut Plato dengan paham empirisme yang dianut Aristoteles dalam usaha mencapai kebenaran ilmu pengetahuan kealaman.
Mendekati abad pertengahan masehi, fenomena dunia mitos yang telah diselimuti kabut logis-rasionalis mulai muncul kembali. Sejarawan ilmu pun mencatat masa ini dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan yang bercirikan teosentris (berpusat pada kebenaran wahyu). Para pemikir ini, seperti Thomas Aquinas (Gahral, 2002) mencoba membuktikan kebenaran wahyu dengan tetap mengikutkan rasio. Tetapi posisi rasio atau akal saat itu hanyalah sebatas sebagai hamba perempuan bagi teologi (ansilla teologia). Filsafat menjadi abdi dari teologi di mana pemikiran filosofis digunakan untuk mendukung wahyu. Sementara kebenaran yang didapat melalui teori ilmiah dibungkam apabila tidak sesuai dengan otoritas ajaran wahyu. Masa inilah yang kemudian dikenal masa suramnya ilmu pengetahuan.
Sejak munculnya kembali paham teosentris, ilmuwan rasionalisme yang bersikukuh dalam pendiriannya terus berjuang untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern, semangat tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, kredo, nilai dan lain sebagainya. Masa inilah yang kemudian melahirkan “Renaisan” (yang berarti kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan serta diikuti “Aufklarung” (pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu pengetahuan dengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme dan bebas nilai.
Ide netralisme ilmu pengetahuan ini semakin menunjukkan eksistensinya ketika para filosof Inggris seperti David Hume (1711-1776) dan Jhon Locke (1632-1704) memberikan reaksi kerasnya terhadap pemikiran rasionalisme. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan melalui pengalaman inderawi (empirisme), bukan penalaran rasio. Pertentangan tersebut terus berlangsung hingga muncul seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang membawa ide sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Ia berpendapat bahwa rasio dan empiri sama-sama memiliki peran sebagai sumber pengetahuan di mana kesan-kesan empiri dikontruksikan oleh rasio menjadi teori/konsep pengetahuan. Sementara di luar rasio dan empiri tidak memberikan arti apa-apa bagi ilmu pengetahuan. Dengan begitu ide sekularisasi tetap kokoh pada tempatnya semula. Sebaliknya ia seolah mendapat kekuatan baru dalam mempertahankan eksistensinya.
Ide netralitas ilmu pengetahuan baru mendapat legitimasinya pada zaman modern ketika muncul Filsafat Positivisme yang dimotori oleh Auguste Comte (1798-1857) di mana pemikiran-pemikirannya tertuang dalam bukunya yang berjudul “The Course of Positive Philosophy” yang berisi garis-garis besar prinsip positivisme-nya. Ia berpendapat bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Tanpa ada pengaruh apapun di luarnya (objektif) karena realitas itu independen dari subjek. Dengan begitu paham ini juga mengenyampingkan realitas metafisika, termasuk di dalamnya mitologi dan hal-hal yang bersifat esoteris lainnya seperti nilai.
Diantara ciri-ciri posistivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang ‘bebas nilai’ atau ‘netral’ atau ‘objektif’. Inilah yang menjadi dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realita dengan bersikap imparsial-netral. Ciri lainnya adalah ‘mekanisme’, yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin.
Paham posistivisme di atas telah menjadi wacana filsafat ilmu yang sangat mendominasi pada abad ke-20. Hingga dari semakin pervasifnya dominasi tersebut, positivisme bukan hanya menjadi bagian dari paham filsafat ilmu, menurut Ian Hacking ia juga telah dianggap menjadi semacam agama baru karena ia telah melembagakan pandangan-pandangan menjadi doktrin bagi berbagai bentuk pengetahuan manusia, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas nilai, objektif, dan sekularismenya.
Meski demikian paham ini mendapat sorotan tajam dari kalangan ilmuwan. Dari beberapa pemikir yang mempermasalahkan tersebut adalah Karl R. Popper, para filsuf Frankfurt Schule, Feyerabend, Withehead, Nashr, Al-Attas, Paul Illich dan lainnya. Mereka menemukan fakta bahwa ilmu itu mesti terikat oleh nilai, subjek dan tidak netral. Di balik klaim bebas nilai, tersemunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri.
Perbincangan seputar paradigma ilmu bebas nilai, objektif dan netral yang diusung positivisme inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk mengkajinya lebih mendalam. Penulis melihat realita yang ada di kalangan ilmuwan, baik barat maupun muslim, masih saja berpegang teguh pada paradigma tersebut dengan berbagai alasan, di samping juga ada yang menentangnya dengan beragam argumen yang melemahkan ide tersebut.
Selain itu paradigma netralitas sain juga penting untuk dikaji karena pemahaman ini terkait dengan dengan pemahaman sain, di mana banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sain. Paham bahwa sain itu netral atau terikat oleh nilai akan mempengaruhi hubungan cara kerja sain dan manusia itu sendiri.

Ide Dasar Netralitas Ilmu
Kata “netral” biasanya diartikan tidak memihak atau imbang atau murni. Dalam isitilah “ilmu netral” atau “sain netral” maupun “netralitas ilmu” berarti bahwa ilmu itu tidak memihak pada apapun termasuk kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Ilmu berdiri sendiri (independent) tidak terpengaruh oleh apapun. Kebaikan atau keburukan adalah hal lain di luar permasalahan keilmuan. Keduanya adalah nilai yang sama sekali tidak boleh mempengaruhi ilmu. Itulah sebabnya kemudian istilah “netralitas ilmu” atau semacamnya sering juga disebut dan diganti dengan istilah ilmu yang bebas nilai (value free).
Di samping kedua istilah tersebut, yang secara jelas menunjukkan saling keterkaitannya, juga dikenal dengan istilah lain berupa “ilmu objektif”. Artinya bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dari gugusan teori yang didapat dari objek pengetahuan yang berupa data-data fakta empiri (semesta). Data-data tersebut harus sesuai dengan fakta empiri tanpa melibatkan karakteristik tertentu di luar objek ilmu itu sendiri termasuk dari seorang ilmuwan. Hal yang berada di luar objek ilmu berfungsi sebagai subjek. Ilmuwan misalnya hanyalah sebagai subjek yang mengamati/meneliti objek dan menyimpulkan fakta-fakta empiri darinya. Fakta-fakta tersebut disusun sebagai teori-teori pengetahuan yang independen tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat subjektif. Teori-teori yang dikumpulkan dari fakta objek terSebut kemudian disebut dengan ilmu. Karena ilmu itu terbentuk dari fakta-fakta empiris dari objek maka kemudian ia disebut dengan ilmu yang objektif.
Kebenaran objektifitas ilmu hanya dapat dinilai ketika unsur-unsur subjektifitas ilmu tersebut tidak mempengaruhinya atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari bangunan teori-teorinya. Dalam hal ini berarti unsur-unsur subjektifitas ilmu dihilangkan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa keyakian-keyakinan, kepercayaan, paradigma, kepentingan, nilai dan lain sebagainya.
Sampai di sini, jelas dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan akan dikatakan objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur lain di luar dirinya, termasuk nilai (value free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur lainnya, maka ilmu dalam keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada sesuatu apapun kecuali pada dirinya sendiri (independent).
Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan, mencoba meminimalisir subjektifitas di luarnya, bahkan berusaha untuk menghilangkan subjektifitas itu sendiri. Paradigma netralitas ilmu ini meyakini bahwa semakin objektif (terbebas dari nilai) ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran (positif).
Paradigma netralitas ilmu atau bebas nilai ini pertama kali dianut serta dikembangkan oleh paham positivisme dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan. Paham ini memandang bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir secara langsung melalui data inderawi. Data-data inderawi ini adalah satu. Apa yang dipersepsi adalah fakta sesungguhnya, tanpa melibatkan unsur diluarnya.
Sebuah masalah keilmuan harus dirumuskan sedemikian sehingga pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif, bebas nilai dan netral. Objektif artinya bahwa data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya dengan karakterisktik individual dari seorang ilmuwan (Senn). Bebas nilai berarti dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral. Sedangkan netral berarti ilmu tidak memihak pada selain dirinya sendiri.
Untuk memperkokoh pandangannya tersebut, positivisme menetapkan syarat-syarat bagi ilmu pengetahuan, yaitu : dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). Dengan begitu objek ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta empiri (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh subjek peneliti. Di mana itu berarti bahwa hal-hal yang tidak dapat diindera oleh manusia – sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri – tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.
Karakteristik ilmu pengetahuan adalah bahwa ia harus didapat melalui metode ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hyphotetico-verificatif. Metode ini terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu sesuai dengan aturan berpikir yang logis, rasional atau masuk akal (logico), dan bukan melalui aturan kepercayaan atau keyakinan-keyakinan mistis. Kemudian dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapat ditarik hipotesis (hypothetico). Dari hipotesis tersebutlah kemudian ilmu pengetahuan harus dapat membuktikannya secara empiris (verificatif).
Aliran filsafat yang sependapat dengan positivisme ini adalah positivisme logis, empirisme, realisme, essensialisme dan objektivisme. Aliran-aliran tersebut mendasarkan pandangannya pada prinsip-prinsip tertentu. Realisme misalnya memiliki prinsip mutlak sebagai barikut : 1) kita memersepsi objek fisik secara langsung, 2) Objek ini adanya tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu di dalam ruang, 3) ciri khas objek ini seperti apa adanya sebagaimana kita memersepsinya (Rand, 2003).
Pada tahap selanjutnya paham netralitas ilmu (sain) terus berkembang dan dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai ide dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Meski kemudian sempat terjadi pertarungan yang sengit selama kurang lebih 250 tahun antara ilmuwan yang berpegang pada prinsip “ilmu bebas nilai dan netral” atau objektif, dengan ilmuwan yang berkeyakinan bahwa ilmu itu terikat oleh nilai, tidak netral dan penuh dengan keterkaitan subjektif, namun pandangan netralitas ilmu terus memenangkan idenya tersebut.
Realitas sejarahpun kemudian mencatat bahwa ilmu pengetahuan mengalami kemajuannya yang signifikan ketika paradigma “ilmu yang bebas nilai” tersebut benar-benar menjadi prinsip para ilmuwan dalam mengembangkan pengetahuannya, terutama di bidang ilmu pengetahuan alam.

Menyoal Netralitas Ilmu
Ilmu bebas nilai dalam artian ia tidak terikat oleh sesuatu apapun di luar objeknya sendiri serta ilmu pengetahuan netral, seolah telah menjadi diktum resmi yang dijadikan aras yang kokoh bagi pengembangan keilmuan modern.
Namun begitu, sejarahpun mencatat bahwa klaim ilmu bebas nilai kemudian ditentang oleh banyak kalangan dalam komunitas keilmuan itu sendiri. Bahkan hingga saat ini pertentangan itu semakin sengit terutama datang dari kalangan panganut paham etika, estetika, agama, sosial, budaya dan lainnya.
Fenomena yang ada, sejak zaman Yunani kuno pun, di mana etika dan estetika mendapat tempat kehormatannya yang tinggi, klaim bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh nilaipun sudah menggejala. Lihat misal ideal Aristoteles tentang ilmu pengetahuan yang berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan satu sama lain. Realitas objek dan subjek saling berkaitan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan.
Ilmuwan di zaman kontemporer pun berpendapat demikian. Mereka berasumsi dasar bahwa; (Gahral, 2002) Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Kedua, falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, kemugkinan muncul fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas melainkan sarat nilai. Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang sarat persoalan dan senantiasa berubah.
Mereka juga mengatakan bahwa ilmuwan bekerja dalam kerangka sistem kepercayaan atau paradigmanya masing-masing. Bahwa alam ini tidak menguraikan dirinya sendiri. Ia terbentuk menjadi teori ilmu yang berangkat dari beberapa set cara pandang, pemikiran, pengaruh personal, pertimbangan kekelompokan, sosial, nilai dan lainnya. Maka kemudian ilmu tidaklah bebas meski diupayakan kearah itu. Objektifitas ilmu mesti berdampingan dengan subjektifitasnya dan nilai-nilaipun selalu mendampinginya.
Terkait dengan ilmu yang terikat nilai itu, ilmuwan pun mengkaji tentang apa hakikat nilai itu sendiri, yang kemudian meniscayakan mentalnya pendapat netralitas ilmu pengetahuan oleh nilai. Menurut Paul Edwards dalam bukunya The Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai yang digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Lebih lanjut maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada suatu benda hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di mana hal tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Louis O. Katstoff (2000) berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk, benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.
Dari pendapatnya itu ia kemudian memberikan gambaran bahwa situasi nilai setidaknya meliputi; (a) suatu subjek yang memberi nilai – yang sebaiknya kita namakan ‘segi pragmatis’; (b) suatu objek yang diberi nilai- yang sebaiknya diberi nama ‘segi semantis’; (c) suatu perbuatan penilaian atau (d) suatu nilai ditambah perbuatan penilaian.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan organik antara nilai dan fakta alam yang kemudian mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan itu sendiri. Fakta secara intrinsik memiliki nilainya tersendiri sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang mencoba mempengaruhinya. Fakta tidak dapat menghindari nilai-nilai dari luar dirinya karena ia tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu itu bukan hanya demi kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga demi kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat dinafikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai.
Permasalahan netralitas sain yang lain terus mendapat sorotan tajam dari berbagai ahli. Karl Raimund Popper (1902-1994), seorang pemikir Jerman yang juga aktif dalam Lingkaran Wina mempermasalahkan objektifitas ilmu dengan berpendapat bahwa kita tidak pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah mencapai kebenaran lewat verifikasi terhadap fakta meski juga kita dapat semakin mendekati kepastian semacam itu lewat pengguguran teori-teori yang terbukti salah (falsifikasi).
Lebih lanjut, menurutnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan terhadap permasalahan-permasalahan di luar objeknya sendiri. Yaitu terikat dengan nilai-nilai subjektifitasnya seperti hal-hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Thomas S Kuhn, seorang ilmuwan fisika dan sejarawan filsafat ilmu berpendapat bahwasanya ide netralitas ilmu atau bebas nilai hanyalah sekedar ilusi (Kuhn, 1962). Dia menyatakan bahwa paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan ‘fakta’: dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampaknya cenderung sama-sama relevan. Akibatnya pengumpulan fakta tahap awal jauh lebih berupa kegiatan acak jika dibandingkan dengan kegiatan yang telah diakrabi dalam perkembangan ilmu lebih lanjut.
Lebih sederhana dan jelas Kuhn membahas ketidaknetralan ilmu pengetahuan itu karena memang ilmu dibangun berdasar pijakan seorang pakar yang mungkin berbeda dengan pakar lainnya. Di mana pijakan tersebut telah memuat nilai ataupun kepentingan berbentuk ‘paradigma’.
Secara lebih gamblang, Kuhn memperkuat pendapatnya dengan teori revolusi sain. Ia menilai adanya prinsip ketidakberbandingan teori ilmu pengetahuan antar masa eksistensinya. Prinsip itu hendak mengatakan bahwa kesinambungan antar teori adalah mustahil karena masing-masing bekerja di bawah payung paradigmanya masing-masing. Tentang hal ini Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut :
Sain normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seorang pakar. Dalam perkembangannya sain normal mengalami fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma satu ke paradigma lain dengan pijakan dasarnya sendiri-sendiri (prinsip ketidak berbandingan teori).
Lebih jauh dari itu Kuhn menolak asumsi sejarah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan lebih disebabkan karena ilmu itu telah berhasil mengesampingkan nilai dan subjektivitasnya dari dirinya sendiri. Paham perkembangan ilmu pengetahuan adalah bahwa kebebasannya dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, dan posisinya yang netral memungkinkannya dengan leluasa mengembangkan dirinya. Sebaliknya apabila ia terikat dengan nilai atau kepentingan maka dia tidak akan berkembang.
Bagi Kuhn, kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu komunitas ilmu pengetahuan. ini berarti perjuangan konpetitif dan legitimasi intersubjektif dari komunitas ilmu itu sendiri telah sarat dengan kepentingan dan nilai. Tetapi meski begitu ilmu pengetahuan tetaplah berkembang.
Reaksi keras terhadap ide netralitas sain datang dari Mazhab Frankfurt yang menegaskan bahwa klaim bebas nilai itu menunjukkan vested interest. Di balik klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri. Para pemikir Frankfurt seolah ingin menjelaskan bahwa ide rasionalisme dan empirisme untuk melepaskan diri dari dunia mitos, dikotomi fakta dan nilai hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan manusia dan alam itu sendiri ke dalam mitologi rasio.
Senada dengan itu Kuhn pun berpendapat bahwa ilmu ‘normal’ adalah bagian dari upaya dogmatis, jika kita menganggap teori-teori ilmiah yang sudah ketinggalan zaman seperti dinamika Aristotelian, kimia, flogistis, atau termodinamika kalori sebagi mitos, menurut Kuhn, kita bisa sama-sama bersikap logis untuk menganggap teori-teori saat ini sebagai irasional dan dogmatis:
“Jika kepercayaan atau keyakinan yang sudah usang ini akan disebut mitos, maka mitos itu dapat dihasilkan oleh jenis-jenis metode yang sama dan diakui oleh jenis-jenis alasan yang sama yang sekarang menghasilkan pengetahuan ilmiah. Jika di pihak lain kepercayaan-kepercayaan itu akan disebut sain, maka sain telah mencakup kumpulan kepercayaan yang sangat bertentangan dengan apa yang kita akui hari ini.” (Kuhn, 1962)

Mazhab Frankfurt menolak dikotomi fakta/nilai karena berpengaruh negatif baik secara epistemologis maupun sosiologis. Mereka menilai bahwa dikotomi tersebut akan membuat akal manusia menjadi akal instrumental. Akal yang sifatnya manipulatif, kalkulatif, dominasi terhadap semesta yang hanya berurusan dengan perangkat teknologis dan lupa akan tujuan hidup manusia itu sendiri. Maka, agar hal tersebut tidak terjadi, nilai-nilai harus menjadi penyeimbang dominasi rasio. Dengan demikian kemudian ilmu akan terikat dengan kepentingan, karena memang seharusnya begitu.
Habermas dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968) mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan. Ide netralitas ilmu pengetahuan yang tidak berpihak kepada apapun hanya akan membutakan ilmuwan terhadap kepentingan atau tujuan yang mendasari sebuah penelitian ilmiah. Di mana kebutaan tersebut akan menjadi-jadi, hingga timbul persoalan-persoalan sosial-etis bahkan hingga mencapai proses dehumanisasi manusia itu sendiri sebagai pemilik ilmu dan teknologi.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi terhadap lepasnya secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap persoalan-persoalan tersebut, karena mereka hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan keilmuan yang sudah diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Dengan begitu jika ilmuwan cuci tangan terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan menurut penulis.
Sosok filosof lain yang juga menentang ide netralitas ilmu adalah Paul Feyerabend (1924-1994). Ia berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada fakta yang netral. Fakta tidak pernah bicara dengan sendirinya melainkan diinterpretasikan dalam suatu kerangka konseptual tertentu. Ian Hacking pun menambahkan pendapat ini dengan mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya diinterpretasi malainkan juga diitervensi. Ketika sebuah teori mengemuka dan mencoba melakukan konfirmasi empirisnya lewat eksperimen, maka eksperimen tersebut mengintervensi fakta-fakta sehingga tidak lagi netral.
Setidaknya ada dua argumentasi Feyerabend yang dapat menggugurkan ide netralitas ilmu (Gahral, 2002). Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan diwarnai oleh banyak penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan melanggar aturan metodologi yang ketat, seperti intuisi, kebetulan dan imajinasi. Kedua, tidak ada fakta yang netral dan terberi, fakta dilihat dalam suatu kerangka konseptual yang berbeda-beda dari satu teori-teori lain. Dia pun kemudian bersiteguh – dengan tetap mengusung ide-ide radikalnya – bahwa pengetahuan yang selama ini dipinggirkan dalam wacana ilmu pengetahuan harus kembali diberi wewenang untuk menyuarakan kebenarannya sendiri-sendiri.
Hubungan Aksiologi Ilmu dan Netralitas Ilmu
Secara etimologis, Aksiologi berasal dari dari bahasa Yunani, axios, yang berarti nilai, dan logos, yang berarti teori. Terdapat banyak pendapat tentang pengertian aksiologi. Menurut Jujun S. Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral product.yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika.Kedua, esthetic expression. Yaitu ekpresi keindahan. Bidang ini melahirkan disiplin khusus Estetika. Ketiga, sosio-political life. Yakni kehidupan sosial politik, yang melahirkan filsafat sosio-politik. Lebih dari itu ada yang berpendapat dengan menyamakan antara aksiologi dan ilmu.
Dari beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat jelas bahwa permasalahan utama aksiologi adalah nilai. Aristoteles berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan dari satu sama lain. Farncis Bacon pun menilai bahwa aksiologi ilmu adalah terciptanya kemaslahatan manusia. Tujuannya yaitu mengusahakan posisi yang lebih menguntungkan bagi manusia dalam menghadapi alam.
Ahmad Tafsir dalam bukunya berpendapat bahwa aksiologi ilmu sekurang-kurangnya memiliki tiga garapan yaitu; 1) Ilmu sebagai alat eksplanasi, 2) Ilmu sebagai alat memprediksi, 3) Ilmu sebagai alat pengontrol.
Sedangkan istilah netralitas ilmu diartikan sebagai upaya rasionalisasi ilmu-ilmu pengetahuan dengan tanpa terpengaruh dan berkonotasi parokial seperti oleh ras, ideologi, agama, nilai dan lainnya. Itu berarti netralitas ilmu tidak terlalu memperdulikan nilai-nilai kebaikan ataupun keburukan. Ilmu hanyalah teori yang berdiri sendiri (independent) dan diusahakan benar-benar tidak terpengaruh oleh apapun. Ilmu dibiarkan berbicara tentang dirinya sendiri.
Dari pengertian singkat di atas, dapat dengan jelas terlihat bahwa antara aksiologi ilmu dan netralitas ilmu terdapat perbedaan. Bila aksiologi ilmu mementingkan adanya nilai yang dimuat oleh sebuah ilmu maka, sebaliknya netralitas ilmu mengusung ide pembebasan diri dari nilai. Bila aksiologi ilmu condong ke arah pembahasan tujuan ilmu, maka netralitas ilmu tidak demikian.
Sampai di sini penulis dapat menyimpulkan tidak adanya hubungan antara aksiologi ilmu dengan ide netralitas ilmu, yaitu terletak pada permasalahan nilainya.

Penutup
Persoalan netralitas sain sebenarnya bukanlah persoalan sederhana yang dengan mudah kita sudah menganggapnya mengerti (taken for granted). Persoalan ini penting sekali dijelaskan karena menyangkut persoalan kehidupan manusia dalam berinteraksi secara langsung dengan ilmu pengetahuan, di mana pengetahuannyalah yang akan mempengaruhi kehidupannya. Kesalahan persepsi terhadap persoalan keilmuan terutama dasar-dasarnya dapat memberikan pengaruh kesesatan pola berifikir termasuk proses kehidupannya.
Dari pembahasan terdahulu, penulis sependapat dengan ide bahwa ilmu itu tidaklah netral atau bebas nilai atau objektif. Ilmu hakikatnya selalu terkait dengan berbagai kepentingan, nilai dan lainnya, baik pada tataran ontologi, epistemolgi maupun aksiologisnya.
Selain didasarkan pada pendapat para ilmuwan yang menentang netralitas ilmu, penulis juga berpendapat bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan itu adalah berdiri dan terdiri dari bangunan teori. Bahwa teori-teori yang ada berasal dari fakta-fakta objektif. Bahwa objektifitas fakta tidak dapat diterangkan menjadi sebuah teori ketika unsur-unsur objektifitasnya berdiri sendiri tanpa ada hubungannya dengan yang lain. Bahwa juga fakta itu sendiri secara objektif telah memiliki nilainya yang melekat. Di mana nilai-nilai yang melekat tersebut tidak berarti apa-apa bagi ilmu pengetahuan kecuali hanyalah fenomena fakta yang tidak dapat dijelaskan kecuali menurut persepsi si peneliti/pengamat. Bahwa peneliti/pengamat telah memiliki ukuran-ukuran nilai yang mereka miliki.
Akhirnya penulis kutip pendapat Herman Soewardi tentang ketidaknetralan ilmu pengetahuan. menurutnya, dari sudut epistemologi, sain (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sain formal dan sain empirikal. Sain formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain formal itu netral karena ia berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun sain empirikal, ia tidak netral. Sain empirikal merupakan wujud kongkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain empirikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan-pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena dipengaruhi pijakannya itu.

sumber ilmu

Sumber Ilmu
Apabila seorang manusia menemukan kesadarannya, ia menuntut untuk hidup dalam apa yang disebutnya kebenaran. Apa yang benar bagi seseorang adalah apa yang sesuai dengan kesadarannya, yang disetujuinya, yang dianggapnya baik, yang dianggapnya mempunyai nilai, dan yang dapat dijadikan pegangan dalam bertindak. Kebenaran adalah sesuatu yang kita mengatakan "ya" kepadanya.
Ilmu pengetahuan dan kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Ilmu pengetahuan dan kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemukannya.
Akan tetapi, apa yang disebut ilmu pengetahuan dan kebenaran bukanlah sesuatu yang sifatnya statis. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu terlalu kaya, berkembang, tumbuh, dan memperkaya dirinya tanpa batas. Sebab, ilmu pengetahuan dan kebenaran itu berada di luar alam manusia. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu merupakan suatu ide yang bersifat mengatasi tempat dan waktu manusia dan telah ada sebelum mereka ada. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu merupakan suatu esensi, suatu hakikat, suatu ide yang mendahului keberadaan alam ini.
Inilah sebabnya manusia tidak pernah puas setelah menemukan ilmu pengetahuan dan menyadari suatu kebenaran. Manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan kebenaran itu terlalu luas, tetapi kodrat manusia itu terlalu terbatas. Meskipun demikian, kebahagiaan sejati manusia adalah menggabungkan diri dengan keabadian yang menampung kebenaran itu. Manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan kebenaran tak mungkin dicapai; ia harus terus berusaha mencari dan menemukannya.
Bagaimana manusia mencari ilmu pengetahuan dan dapat menemukan kebenaran? Secara kodrati, manusia memiliki sejumlah potensi kejiwaan dalam dirinya. Manusia mempunyai potensi pikir, potensi indriawi, potensi merasakan, dan potensi untuk percaya. Semua potensi tersebut dapat digunakan dan dikembangkan dalam mencari ilmu pengetahuan dan menemukan kebenaran.
Indra, akal, & hati
Indra yang terdiri atas penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasaan merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran yang bersifat empiris. Apabila rusak, pancaindra di atas tidak akan berfungsi atau berguna sama sekali sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran mengenai benda-benda yang bersifat empiris.
Indra menjadi sangat penting sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran karena melalui indralah kita mampu mengenal dunia sekeliling kita. Melalui mata kita mampu mengetahui bentuk, keberadaan, serta sifat-sifat atau karakteristik benda yang ada di dunia. Demikian pula melalui telinga, kita mampu mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dicerap oleh mata, yang kemampuannya sangat terbatas dibandingkan dengan telinga, yaitu mencerap suara yang dapat menimbulkan imajinasi yang sangat kaya, sehingga kreativitas timbul daripadanya.
Demikian juga melalui indra perasa, kita mampu mengenal dimensi yang lain dari objek-objek dunia, yaitu rasa, seperti rasa manis, rasa asin, rasa pahit, dan rasa asam, yang tentunya ini tidak dapat disentuh oleh indra penglihatan ataupun pendengaran, yaitu oleh mata dan telinga.
Tidak kurang penting adanya indra penciuman, yang mampu mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak dapat dicerap oleh penglihatan, pendengaran, ataupun perasaan, yaitu rasa bau/wangi yang mampu membedakan antara bau busuk bangkai dan harumnya bunga atau parfum yang menyegarkan.
Terakhir tetapi tidak kalah pentingnya adalah indra peraba. Indra yang terakhir ini mampu membedakan antara panas dan dingin, lunak, halus, dan kasar yang sudah barang tentu tidak mampu dicerap oleh indra-indra yang telah diuraikan di atas.
Di samping sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, indra pun berfungsi sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan alat pertahanan hidup. Misalnya mata, sangat berguna untuk mengamati bahaya yang mungkin akan mengancam nyawa, seperti tertabrak kendaraan bermotor, terbakar api, atau terjerembap ke dalam tebing yang sangat membahayakan.
Melalui mata, kita mampu mengambil tindakan sebelumnya untuk menghindari bahaya tersebut di atas. Demikian pula telinga mampu menghindari bahaya-bahaya yang dicerap melalui pendengaran, misalnya bunyi klakson mobil ketika mata atau yang lainnya tidak bisa dicerapnya.
Indra lain yang tidak kalah pentingnya adalah indra perasa untuk menghindarkan diri dari makanan dan benda-benda yang beracun, membusuk, dan sebagainya. Alhasil, indra tidak hanya berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, namun juga sangat diperlukan untuk keamanan hidup dan menghindarkan diri dari berbagai marabahaya. Maka indralah yang mampu menjadi instrumen dalam kehidupan.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, indra telah mampu mencukupi kebutuhan pengetahuan karena dengan pancaindralah kita mengenal lima dimensi dari berbagai bentuk fisik yang kita amati. Seperti disinggung di atas, bahwa indra mampu menghindarkan diri dari banyak bahaya yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup. Namun, kita sadari bahwa kemampuan indra sangatlah terbatas. Misalnya kita melihat burung elang dari kejauhan di pantai terlihat putih, namun begitu elang itu kita dekati dan kita tangkap, kita amati dari dekat, bulu-bulunya itu ternyata tidak putih semua. Di dalamnya ada yang kuning, abu-abu, bahkan ada yang hitam.
Demikian pula kita bisa melihat langit, bulan, bahkan bintang. Sepintas kita dapat melihat bahwa langit itu biru warnanya, bulan itu pipih seperti piring, serta bintang itu kecil dan indah. Apakah kenyataannya demikian? Ternyata tidak. Langit tidak membiru, bulan tidak pipih, bintang pun tidak kecil. Apakah kita masih akan mengandalkan indra saja sebagai sumber ilmu pengetahuan? Sudah barang tentu tidak demikian, sebab masih ada sumber ilmu pengetahuan kedua, yaitu akal.
Akal seperti pendapat Al-Ghazali (1111 Masehi) dalam kitabnya Misykat Cahaya-Cahaya memandang akal lebih patut disebut cahaya daripada indra. Pasalnya, dengan indra kita hanya dapat melihat bulan separuh saja pada suatu saat. Mata tidak bisa membuktikan adanya paruh lain dari bulan yang tidak terlihat, sedangkan akal mampu menyempurnakan bentuk bulan itu sebagai bola.
Berbicara tentang akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran bisa dibagi ke dalam dua macam, yaitu akal teoretis dan akal praktis. Akal teoretis khusus untuk menganalisis dan mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoretis. Keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek "ada" (keberadaan) atau "tiada" (ketiadaan). Dalam wilayah akal ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk pemikiran teoretis pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indra lahiriah. Sementara akal praktis berkaitan dengan tindakan yang menyangkut etika, seperti dalam tiang filsafat bahwa etika itu berada atau dibahas dalam komponen aksiologi sebagai penerapan suatu ilmu.
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran dalam epistemologi Islam dibantu oleh pancaindra batin yang cukup efektif membantu fungsi pokok akal. Ada lima macam pancaindra batin tersebut, yaitu (1) Al-Hiss Al-Musytarak (indra bersama), indra batin inilah yang menyebabkan objek indriawi muncul sebagai satu kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi data parsial yang dapat disumbangkan oleh tiap indra lahir. (2) Al-Khayal (daya imajinasi retentif), daya yang bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata, atau suara yang ditangkap telinga, dan pencerapan-pencerapan indra lainnya. (3) Al-Wahm (daya estimasi), indra batin ini dapat dapat menilai suatu benda berbahaya atau tidak, sehingga kita dapat mengambil tindakan, baik untuk menghindar maupun mendekatinya jika bermanfaat. (4) Mutakhayyilah (imajinasi), imajinasi dapat menangkap bentuk secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan dengan indra penglihatan yaitu indra penglihatan hanya bisa melihat satu bentuk dalam satu benda. Namun, imajinasi tidak hanya dapat mengabstraksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan menurut selera yang dikehendaki. (5) Al-Hafizhah (memori), memori berguna untuk melestarikan bentuk-bentuk imajiner, seperti "khayal" untuk merekam bentuk-bentuk fisik yang ditangkap oleh indra bersama. Memori menyebabkan kita bisa mengingat tidak hanya bentuk-bentuk fisik, tetapi juga bentuk-bentuk abstrak.
Akal dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra-indra kita (baik lahir maupun batin), yaitu kemampuannya untuk bertanya secara kritis. Akal dapat bertanya tentang apa, di mana, kapan, mengapa, dan siapa juga yang lainnya. Akal telah menjadi sumber informasi yang luar biasa kayanya dengan menjawab semua pertanyaan tersebut, yang tidak bisa dipasok oleh indra.
Dengan demikian, tidak bisa diragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, yang tanpanya manusia akan berada dalam kegelapan. Bagaimanakah kemampuan akal dapat dijelaskan? Itu tak lain karena akal memiliki perangkat-perangkat atau konstruksi-konstruksi mental, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kategori-kategori, seperti kategori ruang, waktu, substansi, kausalitas, relasi, dan kuantitas.
Namun, kelebihan yang paling istimewa dari akal terletak pada kemampuannya untuk menangkap esensi dari sesuatu yang diamati/dipahaminya. Dengan kemampuan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep universal dari suatu objek yang diamatinya, lewat indra yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan dengan data-data partikular. Ketika kita memahami esensi manusia, sebenarnya kita bukan lagi berbicara tentang manusia partikular a atau b, melainkan tentang manusia dalam pengertian universal atau tentang sifat dasar kemanusiaan.
Menurut Aristoteles, dengan kemampuan akal menangkap esensi (mahiyyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia bisa menyimpan jutaan "makna" atau "pemahaman" tentang berbagai objek ilmu yang bersifat abstrak, sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas di dalam pikiran kita. Namun, apakah hanya sampai indra dan akal sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran itu? Tentunya tidak, masih ada sumber ketiga (terakhir) yang lebih bersifat intuitif, yaitu hati (qalb).
Betapa pun sangat pentingnya akal, para filsuf Islam sepakat bahwa akal tetap bersifat terbatas, dan karenanya memerlukan sumber lain, yaitu hati (intuisi) yang bentuk tertingginya adalah wahyu. Bergson (1938) menyatakan bahwa akal sangat kompeten untuk menganalisis ruang, tetapi tidak tentang waktu. Untuk memahami waktu, harus menggunakan intuisi sebagai alat "metode filosofis" yang paling tepat. Akal sangat kompeten untuk memahami "pengalaman fenomenal", tetapi tidak untuk "pengalaman eksistensial".
Apa keistimewaan hati (qalb) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran dibandingkan dengan akal? Bagaimana intuisi mampu memahami banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal? Berikut ini adalah beberapa kelemahan akal dibandingkan dengan intuisi lebih unggul.
(1) Akal memang sangat berguna sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, tetapi hanya sebagai kecakapan intelektual. Akal sering dibuat tidak berdaya terhadap persoalan-persoalan hidup yang lebih dalam, menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalnya, akal tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran kita akan menjadi buntu dan lidah menjadi kelu. Dengan kata lain, akal tidak mengerti banyak tentang pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan. Hanya hati/intuisilah yang mampu melakukannya.
(2) Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang (spatialize) apa pun yang menjadi objeknya cenderung memahami sesuatu secara general/homogen sehingga tidak mampu mengerti keunikan suatu "momen" atau "ruang" sebagaimana yang dialami secara langsung.
Bahwa setiap saat dari kehidupan kita itu unik, sulit dimengerti oleh akal. Bagi akal, satu menit di sini akan sama saja dengan satu menit di mana pun. Akal tidak mengerti mengapa bagi seseorang ada hari yang baik dan hari yang buruk, dan mengapa bagi orang-orang tertentu ada tempat-tempat sakral dan profan.
(3) Akal tidak mampu memahami objek penelitiannya secara langsung karena akal dengan menggunakan kata-kata/simbol hanya akan berputar-putar seputar objek tersebut, tetapi tidak pernah dapat secara langsung menyentuhnya. Pengenalan akal terhadap objeknya bersifat simbolis, yakni melalui kata-kata. Akan tetapi, kata-kata saja tidak akan pernah memberi pengetahuan sejati (sebagaimana adanya) tentang suatu objek yang dipelajarinya.
Dengan demikian, untuk menutupi kekurangan akal, manusia dilengkapi Tuhan dengan hati atau intuisi (qalb), sehingga akan lengkaplah seluruh perangkat ilmu bagi manusia. Berikut ini adalah kelebihan hati (qalb) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran:
Ketika akal tidak mampu memahami "wilayah kehidupan emosional manusia", hati dapat memahaminya. Hati yang terlatih akan dapat memahami perasaan seseorang, misalnya hanya dengan mendengar suara atau memandang matanya.
Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati dapat menerobos ke alam ketidaksadaran (alam gaib/religius) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman nonindewi (extrasensory perception), termasuk pengalaman mistis dan religius. Ia bisa berkomunikasi melalui "bahasa hati" dengan makhluk gaib, seperti jin, malaikat, atau bahkan dengan Tuhan sendiri, seperti yang dialami para nabi dan rasul. Ibarat radar, hati terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan terang, betapapun redupnya sinyal itu dari sudut pandang akal.
Dengan dihindarinya kecenderungan-kecenderungan generalisasi dan spasialisasi yang bersifat rasional, hati mampu melihat dan menghayati setiap peristiwa apa pun sebagai peristiwa istimewa dan partikular. Hati dapat memahami pengalaman langsung yang kita rasakan (pengalaman eksistensial), yaitu pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, dan bukan sebagaimana yang dikonsepsikan akal. Misalnya, hati inilah yang dapat mengerti mengapa rentang waktu satu jam terasa berbeda bagi yang ditunggu dibandingkan dengan bagi yang menunggu.
Hati mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan "eksperensial" atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Misalnya, ia mengerti "manis" bukan dari kata orang atau melalui bacaan, melainkan justru dengan mencicipinya. Ia juga mengerti "cinta" bukan melalui teori-teori cinta yang sering jauh berbeda dengan yang dialami, melainkan memahaminya dengan betul-betul jatuh cinta.
Dengan demikian, sudah jelaslah keistimewaan hati/intuisi daripada akal bahkan indra. Sekarang, kita mengetahui bahwa alat/sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran tidak hanya pancaindra, melainkan akal dan hati disesuaikan dengan objek-objek keilmuan yang dikaji, baik itu objek fisik, matematik, maupun metafisik.