Minggu, 26 April 2009

Filsafat

Pendidikan Filsafat
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban manusia. Ia selalu terkait berkelindan satu sama lainnya. Tidak terkecuali sejarah filsafat ilmu. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini. Sejarah ilmu pengetahuan mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM). Di mana periode ini ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigm shift) dari hal-hal yang berbau mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio.
Persoalan sejarah ilmu pengetahuan tidak berhenti di situ saja, selanjutnya terjadi semacam saling tarik-menarik yang saling mendominasi antar berbagai ide pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia ilmu yang beraras pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan kemaslahatan manusia itu sendiri menjadi semacam tonggak dasar dari munculnya perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat dari fenomena pertentangan yang bahkan saling melemahkan dalam dunia filsafat Yunani kuno hingga zaman-zaman selanjutnya. Contoh hal tersebut adalah perbedaan pandangan paham rasionalisme yang dianut Plato dengan paham empirisme yang dianut Aristoteles dalam usaha mencapai kebenaran ilmu pengetahuan kealaman.
Mendekati abad pertengahan masehi, fenomena dunia mitos yang telah diselimuti kabut logis-rasionalis mulai muncul kembali. Sejarawan ilmu pun mencatat masa ini dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan yang bercirikan teosentris (berpusat pada kebenaran wahyu). Para pemikir ini, seperti Thomas Aquinas (Gahral, 2002) mencoba membuktikan kebenaran wahyu dengan tetap mengikutkan rasio. Tetapi posisi rasio atau akal saat itu hanyalah sebatas sebagai hamba perempuan bagi teologi (ansilla teologia). Filsafat menjadi abdi dari teologi di mana pemikiran filosofis digunakan untuk mendukung wahyu. Sementara kebenaran yang didapat melalui teori ilmiah dibungkam apabila tidak sesuai dengan otoritas ajaran wahyu. Masa inilah yang kemudian dikenal masa suramnya ilmu pengetahuan.
Sejak munculnya kembali paham teosentris, ilmuwan rasionalisme yang bersikukuh dalam pendiriannya terus berjuang untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern, semangat tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, kredo, nilai dan lain sebagainya. Masa inilah yang kemudian melahirkan “Renaisan” (yang berarti kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan serta diikuti “Aufklarung” (pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu pengetahuan dengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme dan bebas nilai.
Ide netralisme ilmu pengetahuan ini semakin menunjukkan eksistensinya ketika para filosof Inggris seperti David Hume (1711-1776) dan Jhon Locke (1632-1704) memberikan reaksi kerasnya terhadap pemikiran rasionalisme. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan melalui pengalaman inderawi (empirisme), bukan penalaran rasio. Pertentangan tersebut terus berlangsung hingga muncul seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang membawa ide sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Ia berpendapat bahwa rasio dan empiri sama-sama memiliki peran sebagai sumber pengetahuan di mana kesan-kesan empiri dikontruksikan oleh rasio menjadi teori/konsep pengetahuan. Sementara di luar rasio dan empiri tidak memberikan arti apa-apa bagi ilmu pengetahuan. Dengan begitu ide sekularisasi tetap kokoh pada tempatnya semula. Sebaliknya ia seolah mendapat kekuatan baru dalam mempertahankan eksistensinya.
Ide netralitas ilmu pengetahuan baru mendapat legitimasinya pada zaman modern ketika muncul Filsafat Positivisme yang dimotori oleh Auguste Comte (1798-1857) di mana pemikiran-pemikirannya tertuang dalam bukunya yang berjudul “The Course of Positive Philosophy” yang berisi garis-garis besar prinsip positivisme-nya. Ia berpendapat bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Tanpa ada pengaruh apapun di luarnya (objektif) karena realitas itu independen dari subjek. Dengan begitu paham ini juga mengenyampingkan realitas metafisika, termasuk di dalamnya mitologi dan hal-hal yang bersifat esoteris lainnya seperti nilai.
Diantara ciri-ciri posistivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang ‘bebas nilai’ atau ‘netral’ atau ‘objektif’. Inilah yang menjadi dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realita dengan bersikap imparsial-netral. Ciri lainnya adalah ‘mekanisme’, yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin.
Paham posistivisme di atas telah menjadi wacana filsafat ilmu yang sangat mendominasi pada abad ke-20. Hingga dari semakin pervasifnya dominasi tersebut, positivisme bukan hanya menjadi bagian dari paham filsafat ilmu, menurut Ian Hacking ia juga telah dianggap menjadi semacam agama baru karena ia telah melembagakan pandangan-pandangan menjadi doktrin bagi berbagai bentuk pengetahuan manusia, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas nilai, objektif, dan sekularismenya.
Meski demikian paham ini mendapat sorotan tajam dari kalangan ilmuwan. Dari beberapa pemikir yang mempermasalahkan tersebut adalah Karl R. Popper, para filsuf Frankfurt Schule, Feyerabend, Withehead, Nashr, Al-Attas, Paul Illich dan lainnya. Mereka menemukan fakta bahwa ilmu itu mesti terikat oleh nilai, subjek dan tidak netral. Di balik klaim bebas nilai, tersemunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri.
Perbincangan seputar paradigma ilmu bebas nilai, objektif dan netral yang diusung positivisme inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk mengkajinya lebih mendalam. Penulis melihat realita yang ada di kalangan ilmuwan, baik barat maupun muslim, masih saja berpegang teguh pada paradigma tersebut dengan berbagai alasan, di samping juga ada yang menentangnya dengan beragam argumen yang melemahkan ide tersebut.
Selain itu paradigma netralitas sain juga penting untuk dikaji karena pemahaman ini terkait dengan dengan pemahaman sain, di mana banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sain. Paham bahwa sain itu netral atau terikat oleh nilai akan mempengaruhi hubungan cara kerja sain dan manusia itu sendiri.

Ide Dasar Netralitas Ilmu
Kata “netral” biasanya diartikan tidak memihak atau imbang atau murni. Dalam isitilah “ilmu netral” atau “sain netral” maupun “netralitas ilmu” berarti bahwa ilmu itu tidak memihak pada apapun termasuk kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Ilmu berdiri sendiri (independent) tidak terpengaruh oleh apapun. Kebaikan atau keburukan adalah hal lain di luar permasalahan keilmuan. Keduanya adalah nilai yang sama sekali tidak boleh mempengaruhi ilmu. Itulah sebabnya kemudian istilah “netralitas ilmu” atau semacamnya sering juga disebut dan diganti dengan istilah ilmu yang bebas nilai (value free).
Di samping kedua istilah tersebut, yang secara jelas menunjukkan saling keterkaitannya, juga dikenal dengan istilah lain berupa “ilmu objektif”. Artinya bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dari gugusan teori yang didapat dari objek pengetahuan yang berupa data-data fakta empiri (semesta). Data-data tersebut harus sesuai dengan fakta empiri tanpa melibatkan karakteristik tertentu di luar objek ilmu itu sendiri termasuk dari seorang ilmuwan. Hal yang berada di luar objek ilmu berfungsi sebagai subjek. Ilmuwan misalnya hanyalah sebagai subjek yang mengamati/meneliti objek dan menyimpulkan fakta-fakta empiri darinya. Fakta-fakta tersebut disusun sebagai teori-teori pengetahuan yang independen tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat subjektif. Teori-teori yang dikumpulkan dari fakta objek terSebut kemudian disebut dengan ilmu. Karena ilmu itu terbentuk dari fakta-fakta empiris dari objek maka kemudian ia disebut dengan ilmu yang objektif.
Kebenaran objektifitas ilmu hanya dapat dinilai ketika unsur-unsur subjektifitas ilmu tersebut tidak mempengaruhinya atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari bangunan teori-teorinya. Dalam hal ini berarti unsur-unsur subjektifitas ilmu dihilangkan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa keyakian-keyakinan, kepercayaan, paradigma, kepentingan, nilai dan lain sebagainya.
Sampai di sini, jelas dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan akan dikatakan objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur lain di luar dirinya, termasuk nilai (value free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur lainnya, maka ilmu dalam keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada sesuatu apapun kecuali pada dirinya sendiri (independent).
Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan, mencoba meminimalisir subjektifitas di luarnya, bahkan berusaha untuk menghilangkan subjektifitas itu sendiri. Paradigma netralitas ilmu ini meyakini bahwa semakin objektif (terbebas dari nilai) ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran (positif).
Paradigma netralitas ilmu atau bebas nilai ini pertama kali dianut serta dikembangkan oleh paham positivisme dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan. Paham ini memandang bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir secara langsung melalui data inderawi. Data-data inderawi ini adalah satu. Apa yang dipersepsi adalah fakta sesungguhnya, tanpa melibatkan unsur diluarnya.
Sebuah masalah keilmuan harus dirumuskan sedemikian sehingga pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif, bebas nilai dan netral. Objektif artinya bahwa data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya dengan karakterisktik individual dari seorang ilmuwan (Senn). Bebas nilai berarti dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral. Sedangkan netral berarti ilmu tidak memihak pada selain dirinya sendiri.
Untuk memperkokoh pandangannya tersebut, positivisme menetapkan syarat-syarat bagi ilmu pengetahuan, yaitu : dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). Dengan begitu objek ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta empiri (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh subjek peneliti. Di mana itu berarti bahwa hal-hal yang tidak dapat diindera oleh manusia – sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri – tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.
Karakteristik ilmu pengetahuan adalah bahwa ia harus didapat melalui metode ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hyphotetico-verificatif. Metode ini terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu sesuai dengan aturan berpikir yang logis, rasional atau masuk akal (logico), dan bukan melalui aturan kepercayaan atau keyakinan-keyakinan mistis. Kemudian dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapat ditarik hipotesis (hypothetico). Dari hipotesis tersebutlah kemudian ilmu pengetahuan harus dapat membuktikannya secara empiris (verificatif).
Aliran filsafat yang sependapat dengan positivisme ini adalah positivisme logis, empirisme, realisme, essensialisme dan objektivisme. Aliran-aliran tersebut mendasarkan pandangannya pada prinsip-prinsip tertentu. Realisme misalnya memiliki prinsip mutlak sebagai barikut : 1) kita memersepsi objek fisik secara langsung, 2) Objek ini adanya tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu di dalam ruang, 3) ciri khas objek ini seperti apa adanya sebagaimana kita memersepsinya (Rand, 2003).
Pada tahap selanjutnya paham netralitas ilmu (sain) terus berkembang dan dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai ide dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Meski kemudian sempat terjadi pertarungan yang sengit selama kurang lebih 250 tahun antara ilmuwan yang berpegang pada prinsip “ilmu bebas nilai dan netral” atau objektif, dengan ilmuwan yang berkeyakinan bahwa ilmu itu terikat oleh nilai, tidak netral dan penuh dengan keterkaitan subjektif, namun pandangan netralitas ilmu terus memenangkan idenya tersebut.
Realitas sejarahpun kemudian mencatat bahwa ilmu pengetahuan mengalami kemajuannya yang signifikan ketika paradigma “ilmu yang bebas nilai” tersebut benar-benar menjadi prinsip para ilmuwan dalam mengembangkan pengetahuannya, terutama di bidang ilmu pengetahuan alam.

Menyoal Netralitas Ilmu
Ilmu bebas nilai dalam artian ia tidak terikat oleh sesuatu apapun di luar objeknya sendiri serta ilmu pengetahuan netral, seolah telah menjadi diktum resmi yang dijadikan aras yang kokoh bagi pengembangan keilmuan modern.
Namun begitu, sejarahpun mencatat bahwa klaim ilmu bebas nilai kemudian ditentang oleh banyak kalangan dalam komunitas keilmuan itu sendiri. Bahkan hingga saat ini pertentangan itu semakin sengit terutama datang dari kalangan panganut paham etika, estetika, agama, sosial, budaya dan lainnya.
Fenomena yang ada, sejak zaman Yunani kuno pun, di mana etika dan estetika mendapat tempat kehormatannya yang tinggi, klaim bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh nilaipun sudah menggejala. Lihat misal ideal Aristoteles tentang ilmu pengetahuan yang berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan satu sama lain. Realitas objek dan subjek saling berkaitan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan.
Ilmuwan di zaman kontemporer pun berpendapat demikian. Mereka berasumsi dasar bahwa; (Gahral, 2002) Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Kedua, falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, kemugkinan muncul fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas melainkan sarat nilai. Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang sarat persoalan dan senantiasa berubah.
Mereka juga mengatakan bahwa ilmuwan bekerja dalam kerangka sistem kepercayaan atau paradigmanya masing-masing. Bahwa alam ini tidak menguraikan dirinya sendiri. Ia terbentuk menjadi teori ilmu yang berangkat dari beberapa set cara pandang, pemikiran, pengaruh personal, pertimbangan kekelompokan, sosial, nilai dan lainnya. Maka kemudian ilmu tidaklah bebas meski diupayakan kearah itu. Objektifitas ilmu mesti berdampingan dengan subjektifitasnya dan nilai-nilaipun selalu mendampinginya.
Terkait dengan ilmu yang terikat nilai itu, ilmuwan pun mengkaji tentang apa hakikat nilai itu sendiri, yang kemudian meniscayakan mentalnya pendapat netralitas ilmu pengetahuan oleh nilai. Menurut Paul Edwards dalam bukunya The Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai yang digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Lebih lanjut maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada suatu benda hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di mana hal tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Louis O. Katstoff (2000) berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk, benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.
Dari pendapatnya itu ia kemudian memberikan gambaran bahwa situasi nilai setidaknya meliputi; (a) suatu subjek yang memberi nilai – yang sebaiknya kita namakan ‘segi pragmatis’; (b) suatu objek yang diberi nilai- yang sebaiknya diberi nama ‘segi semantis’; (c) suatu perbuatan penilaian atau (d) suatu nilai ditambah perbuatan penilaian.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan organik antara nilai dan fakta alam yang kemudian mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan itu sendiri. Fakta secara intrinsik memiliki nilainya tersendiri sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang mencoba mempengaruhinya. Fakta tidak dapat menghindari nilai-nilai dari luar dirinya karena ia tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu itu bukan hanya demi kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga demi kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat dinafikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai.
Permasalahan netralitas sain yang lain terus mendapat sorotan tajam dari berbagai ahli. Karl Raimund Popper (1902-1994), seorang pemikir Jerman yang juga aktif dalam Lingkaran Wina mempermasalahkan objektifitas ilmu dengan berpendapat bahwa kita tidak pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah mencapai kebenaran lewat verifikasi terhadap fakta meski juga kita dapat semakin mendekati kepastian semacam itu lewat pengguguran teori-teori yang terbukti salah (falsifikasi).
Lebih lanjut, menurutnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan terhadap permasalahan-permasalahan di luar objeknya sendiri. Yaitu terikat dengan nilai-nilai subjektifitasnya seperti hal-hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Thomas S Kuhn, seorang ilmuwan fisika dan sejarawan filsafat ilmu berpendapat bahwasanya ide netralitas ilmu atau bebas nilai hanyalah sekedar ilusi (Kuhn, 1962). Dia menyatakan bahwa paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan ‘fakta’: dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampaknya cenderung sama-sama relevan. Akibatnya pengumpulan fakta tahap awal jauh lebih berupa kegiatan acak jika dibandingkan dengan kegiatan yang telah diakrabi dalam perkembangan ilmu lebih lanjut.
Lebih sederhana dan jelas Kuhn membahas ketidaknetralan ilmu pengetahuan itu karena memang ilmu dibangun berdasar pijakan seorang pakar yang mungkin berbeda dengan pakar lainnya. Di mana pijakan tersebut telah memuat nilai ataupun kepentingan berbentuk ‘paradigma’.
Secara lebih gamblang, Kuhn memperkuat pendapatnya dengan teori revolusi sain. Ia menilai adanya prinsip ketidakberbandingan teori ilmu pengetahuan antar masa eksistensinya. Prinsip itu hendak mengatakan bahwa kesinambungan antar teori adalah mustahil karena masing-masing bekerja di bawah payung paradigmanya masing-masing. Tentang hal ini Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut :
Sain normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seorang pakar. Dalam perkembangannya sain normal mengalami fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma satu ke paradigma lain dengan pijakan dasarnya sendiri-sendiri (prinsip ketidak berbandingan teori).
Lebih jauh dari itu Kuhn menolak asumsi sejarah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan lebih disebabkan karena ilmu itu telah berhasil mengesampingkan nilai dan subjektivitasnya dari dirinya sendiri. Paham perkembangan ilmu pengetahuan adalah bahwa kebebasannya dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, dan posisinya yang netral memungkinkannya dengan leluasa mengembangkan dirinya. Sebaliknya apabila ia terikat dengan nilai atau kepentingan maka dia tidak akan berkembang.
Bagi Kuhn, kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu komunitas ilmu pengetahuan. ini berarti perjuangan konpetitif dan legitimasi intersubjektif dari komunitas ilmu itu sendiri telah sarat dengan kepentingan dan nilai. Tetapi meski begitu ilmu pengetahuan tetaplah berkembang.
Reaksi keras terhadap ide netralitas sain datang dari Mazhab Frankfurt yang menegaskan bahwa klaim bebas nilai itu menunjukkan vested interest. Di balik klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri. Para pemikir Frankfurt seolah ingin menjelaskan bahwa ide rasionalisme dan empirisme untuk melepaskan diri dari dunia mitos, dikotomi fakta dan nilai hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan manusia dan alam itu sendiri ke dalam mitologi rasio.
Senada dengan itu Kuhn pun berpendapat bahwa ilmu ‘normal’ adalah bagian dari upaya dogmatis, jika kita menganggap teori-teori ilmiah yang sudah ketinggalan zaman seperti dinamika Aristotelian, kimia, flogistis, atau termodinamika kalori sebagi mitos, menurut Kuhn, kita bisa sama-sama bersikap logis untuk menganggap teori-teori saat ini sebagai irasional dan dogmatis:
“Jika kepercayaan atau keyakinan yang sudah usang ini akan disebut mitos, maka mitos itu dapat dihasilkan oleh jenis-jenis metode yang sama dan diakui oleh jenis-jenis alasan yang sama yang sekarang menghasilkan pengetahuan ilmiah. Jika di pihak lain kepercayaan-kepercayaan itu akan disebut sain, maka sain telah mencakup kumpulan kepercayaan yang sangat bertentangan dengan apa yang kita akui hari ini.” (Kuhn, 1962)

Mazhab Frankfurt menolak dikotomi fakta/nilai karena berpengaruh negatif baik secara epistemologis maupun sosiologis. Mereka menilai bahwa dikotomi tersebut akan membuat akal manusia menjadi akal instrumental. Akal yang sifatnya manipulatif, kalkulatif, dominasi terhadap semesta yang hanya berurusan dengan perangkat teknologis dan lupa akan tujuan hidup manusia itu sendiri. Maka, agar hal tersebut tidak terjadi, nilai-nilai harus menjadi penyeimbang dominasi rasio. Dengan demikian kemudian ilmu akan terikat dengan kepentingan, karena memang seharusnya begitu.
Habermas dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968) mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan. Ide netralitas ilmu pengetahuan yang tidak berpihak kepada apapun hanya akan membutakan ilmuwan terhadap kepentingan atau tujuan yang mendasari sebuah penelitian ilmiah. Di mana kebutaan tersebut akan menjadi-jadi, hingga timbul persoalan-persoalan sosial-etis bahkan hingga mencapai proses dehumanisasi manusia itu sendiri sebagai pemilik ilmu dan teknologi.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi terhadap lepasnya secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap persoalan-persoalan tersebut, karena mereka hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan keilmuan yang sudah diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Dengan begitu jika ilmuwan cuci tangan terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan menurut penulis.
Sosok filosof lain yang juga menentang ide netralitas ilmu adalah Paul Feyerabend (1924-1994). Ia berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada fakta yang netral. Fakta tidak pernah bicara dengan sendirinya melainkan diinterpretasikan dalam suatu kerangka konseptual tertentu. Ian Hacking pun menambahkan pendapat ini dengan mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya diinterpretasi malainkan juga diitervensi. Ketika sebuah teori mengemuka dan mencoba melakukan konfirmasi empirisnya lewat eksperimen, maka eksperimen tersebut mengintervensi fakta-fakta sehingga tidak lagi netral.
Setidaknya ada dua argumentasi Feyerabend yang dapat menggugurkan ide netralitas ilmu (Gahral, 2002). Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan diwarnai oleh banyak penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan melanggar aturan metodologi yang ketat, seperti intuisi, kebetulan dan imajinasi. Kedua, tidak ada fakta yang netral dan terberi, fakta dilihat dalam suatu kerangka konseptual yang berbeda-beda dari satu teori-teori lain. Dia pun kemudian bersiteguh – dengan tetap mengusung ide-ide radikalnya – bahwa pengetahuan yang selama ini dipinggirkan dalam wacana ilmu pengetahuan harus kembali diberi wewenang untuk menyuarakan kebenarannya sendiri-sendiri.
Hubungan Aksiologi Ilmu dan Netralitas Ilmu
Secara etimologis, Aksiologi berasal dari dari bahasa Yunani, axios, yang berarti nilai, dan logos, yang berarti teori. Terdapat banyak pendapat tentang pengertian aksiologi. Menurut Jujun S. Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral product.yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika.Kedua, esthetic expression. Yaitu ekpresi keindahan. Bidang ini melahirkan disiplin khusus Estetika. Ketiga, sosio-political life. Yakni kehidupan sosial politik, yang melahirkan filsafat sosio-politik. Lebih dari itu ada yang berpendapat dengan menyamakan antara aksiologi dan ilmu.
Dari beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat jelas bahwa permasalahan utama aksiologi adalah nilai. Aristoteles berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan dari satu sama lain. Farncis Bacon pun menilai bahwa aksiologi ilmu adalah terciptanya kemaslahatan manusia. Tujuannya yaitu mengusahakan posisi yang lebih menguntungkan bagi manusia dalam menghadapi alam.
Ahmad Tafsir dalam bukunya berpendapat bahwa aksiologi ilmu sekurang-kurangnya memiliki tiga garapan yaitu; 1) Ilmu sebagai alat eksplanasi, 2) Ilmu sebagai alat memprediksi, 3) Ilmu sebagai alat pengontrol.
Sedangkan istilah netralitas ilmu diartikan sebagai upaya rasionalisasi ilmu-ilmu pengetahuan dengan tanpa terpengaruh dan berkonotasi parokial seperti oleh ras, ideologi, agama, nilai dan lainnya. Itu berarti netralitas ilmu tidak terlalu memperdulikan nilai-nilai kebaikan ataupun keburukan. Ilmu hanyalah teori yang berdiri sendiri (independent) dan diusahakan benar-benar tidak terpengaruh oleh apapun. Ilmu dibiarkan berbicara tentang dirinya sendiri.
Dari pengertian singkat di atas, dapat dengan jelas terlihat bahwa antara aksiologi ilmu dan netralitas ilmu terdapat perbedaan. Bila aksiologi ilmu mementingkan adanya nilai yang dimuat oleh sebuah ilmu maka, sebaliknya netralitas ilmu mengusung ide pembebasan diri dari nilai. Bila aksiologi ilmu condong ke arah pembahasan tujuan ilmu, maka netralitas ilmu tidak demikian.
Sampai di sini penulis dapat menyimpulkan tidak adanya hubungan antara aksiologi ilmu dengan ide netralitas ilmu, yaitu terletak pada permasalahan nilainya.

Penutup
Persoalan netralitas sain sebenarnya bukanlah persoalan sederhana yang dengan mudah kita sudah menganggapnya mengerti (taken for granted). Persoalan ini penting sekali dijelaskan karena menyangkut persoalan kehidupan manusia dalam berinteraksi secara langsung dengan ilmu pengetahuan, di mana pengetahuannyalah yang akan mempengaruhi kehidupannya. Kesalahan persepsi terhadap persoalan keilmuan terutama dasar-dasarnya dapat memberikan pengaruh kesesatan pola berifikir termasuk proses kehidupannya.
Dari pembahasan terdahulu, penulis sependapat dengan ide bahwa ilmu itu tidaklah netral atau bebas nilai atau objektif. Ilmu hakikatnya selalu terkait dengan berbagai kepentingan, nilai dan lainnya, baik pada tataran ontologi, epistemolgi maupun aksiologisnya.
Selain didasarkan pada pendapat para ilmuwan yang menentang netralitas ilmu, penulis juga berpendapat bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan itu adalah berdiri dan terdiri dari bangunan teori. Bahwa teori-teori yang ada berasal dari fakta-fakta objektif. Bahwa objektifitas fakta tidak dapat diterangkan menjadi sebuah teori ketika unsur-unsur objektifitasnya berdiri sendiri tanpa ada hubungannya dengan yang lain. Bahwa juga fakta itu sendiri secara objektif telah memiliki nilainya yang melekat. Di mana nilai-nilai yang melekat tersebut tidak berarti apa-apa bagi ilmu pengetahuan kecuali hanyalah fenomena fakta yang tidak dapat dijelaskan kecuali menurut persepsi si peneliti/pengamat. Bahwa peneliti/pengamat telah memiliki ukuran-ukuran nilai yang mereka miliki.
Akhirnya penulis kutip pendapat Herman Soewardi tentang ketidaknetralan ilmu pengetahuan. menurutnya, dari sudut epistemologi, sain (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sain formal dan sain empirikal. Sain formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain formal itu netral karena ia berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun sain empirikal, ia tidak netral. Sain empirikal merupakan wujud kongkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain empirikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan-pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena dipengaruhi pijakannya itu.

sumber ilmu

Sumber Ilmu
Apabila seorang manusia menemukan kesadarannya, ia menuntut untuk hidup dalam apa yang disebutnya kebenaran. Apa yang benar bagi seseorang adalah apa yang sesuai dengan kesadarannya, yang disetujuinya, yang dianggapnya baik, yang dianggapnya mempunyai nilai, dan yang dapat dijadikan pegangan dalam bertindak. Kebenaran adalah sesuatu yang kita mengatakan "ya" kepadanya.
Ilmu pengetahuan dan kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Ilmu pengetahuan dan kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemukannya.
Akan tetapi, apa yang disebut ilmu pengetahuan dan kebenaran bukanlah sesuatu yang sifatnya statis. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu terlalu kaya, berkembang, tumbuh, dan memperkaya dirinya tanpa batas. Sebab, ilmu pengetahuan dan kebenaran itu berada di luar alam manusia. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu merupakan suatu ide yang bersifat mengatasi tempat dan waktu manusia dan telah ada sebelum mereka ada. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu merupakan suatu esensi, suatu hakikat, suatu ide yang mendahului keberadaan alam ini.
Inilah sebabnya manusia tidak pernah puas setelah menemukan ilmu pengetahuan dan menyadari suatu kebenaran. Manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan kebenaran itu terlalu luas, tetapi kodrat manusia itu terlalu terbatas. Meskipun demikian, kebahagiaan sejati manusia adalah menggabungkan diri dengan keabadian yang menampung kebenaran itu. Manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan kebenaran tak mungkin dicapai; ia harus terus berusaha mencari dan menemukannya.
Bagaimana manusia mencari ilmu pengetahuan dan dapat menemukan kebenaran? Secara kodrati, manusia memiliki sejumlah potensi kejiwaan dalam dirinya. Manusia mempunyai potensi pikir, potensi indriawi, potensi merasakan, dan potensi untuk percaya. Semua potensi tersebut dapat digunakan dan dikembangkan dalam mencari ilmu pengetahuan dan menemukan kebenaran.
Indra, akal, & hati
Indra yang terdiri atas penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasaan merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran yang bersifat empiris. Apabila rusak, pancaindra di atas tidak akan berfungsi atau berguna sama sekali sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran mengenai benda-benda yang bersifat empiris.
Indra menjadi sangat penting sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran karena melalui indralah kita mampu mengenal dunia sekeliling kita. Melalui mata kita mampu mengetahui bentuk, keberadaan, serta sifat-sifat atau karakteristik benda yang ada di dunia. Demikian pula melalui telinga, kita mampu mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dicerap oleh mata, yang kemampuannya sangat terbatas dibandingkan dengan telinga, yaitu mencerap suara yang dapat menimbulkan imajinasi yang sangat kaya, sehingga kreativitas timbul daripadanya.
Demikian juga melalui indra perasa, kita mampu mengenal dimensi yang lain dari objek-objek dunia, yaitu rasa, seperti rasa manis, rasa asin, rasa pahit, dan rasa asam, yang tentunya ini tidak dapat disentuh oleh indra penglihatan ataupun pendengaran, yaitu oleh mata dan telinga.
Tidak kurang penting adanya indra penciuman, yang mampu mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak dapat dicerap oleh penglihatan, pendengaran, ataupun perasaan, yaitu rasa bau/wangi yang mampu membedakan antara bau busuk bangkai dan harumnya bunga atau parfum yang menyegarkan.
Terakhir tetapi tidak kalah pentingnya adalah indra peraba. Indra yang terakhir ini mampu membedakan antara panas dan dingin, lunak, halus, dan kasar yang sudah barang tentu tidak mampu dicerap oleh indra-indra yang telah diuraikan di atas.
Di samping sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, indra pun berfungsi sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan alat pertahanan hidup. Misalnya mata, sangat berguna untuk mengamati bahaya yang mungkin akan mengancam nyawa, seperti tertabrak kendaraan bermotor, terbakar api, atau terjerembap ke dalam tebing yang sangat membahayakan.
Melalui mata, kita mampu mengambil tindakan sebelumnya untuk menghindari bahaya tersebut di atas. Demikian pula telinga mampu menghindari bahaya-bahaya yang dicerap melalui pendengaran, misalnya bunyi klakson mobil ketika mata atau yang lainnya tidak bisa dicerapnya.
Indra lain yang tidak kalah pentingnya adalah indra perasa untuk menghindarkan diri dari makanan dan benda-benda yang beracun, membusuk, dan sebagainya. Alhasil, indra tidak hanya berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, namun juga sangat diperlukan untuk keamanan hidup dan menghindarkan diri dari berbagai marabahaya. Maka indralah yang mampu menjadi instrumen dalam kehidupan.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, indra telah mampu mencukupi kebutuhan pengetahuan karena dengan pancaindralah kita mengenal lima dimensi dari berbagai bentuk fisik yang kita amati. Seperti disinggung di atas, bahwa indra mampu menghindarkan diri dari banyak bahaya yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup. Namun, kita sadari bahwa kemampuan indra sangatlah terbatas. Misalnya kita melihat burung elang dari kejauhan di pantai terlihat putih, namun begitu elang itu kita dekati dan kita tangkap, kita amati dari dekat, bulu-bulunya itu ternyata tidak putih semua. Di dalamnya ada yang kuning, abu-abu, bahkan ada yang hitam.
Demikian pula kita bisa melihat langit, bulan, bahkan bintang. Sepintas kita dapat melihat bahwa langit itu biru warnanya, bulan itu pipih seperti piring, serta bintang itu kecil dan indah. Apakah kenyataannya demikian? Ternyata tidak. Langit tidak membiru, bulan tidak pipih, bintang pun tidak kecil. Apakah kita masih akan mengandalkan indra saja sebagai sumber ilmu pengetahuan? Sudah barang tentu tidak demikian, sebab masih ada sumber ilmu pengetahuan kedua, yaitu akal.
Akal seperti pendapat Al-Ghazali (1111 Masehi) dalam kitabnya Misykat Cahaya-Cahaya memandang akal lebih patut disebut cahaya daripada indra. Pasalnya, dengan indra kita hanya dapat melihat bulan separuh saja pada suatu saat. Mata tidak bisa membuktikan adanya paruh lain dari bulan yang tidak terlihat, sedangkan akal mampu menyempurnakan bentuk bulan itu sebagai bola.
Berbicara tentang akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran bisa dibagi ke dalam dua macam, yaitu akal teoretis dan akal praktis. Akal teoretis khusus untuk menganalisis dan mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoretis. Keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek "ada" (keberadaan) atau "tiada" (ketiadaan). Dalam wilayah akal ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk pemikiran teoretis pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indra lahiriah. Sementara akal praktis berkaitan dengan tindakan yang menyangkut etika, seperti dalam tiang filsafat bahwa etika itu berada atau dibahas dalam komponen aksiologi sebagai penerapan suatu ilmu.
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran dalam epistemologi Islam dibantu oleh pancaindra batin yang cukup efektif membantu fungsi pokok akal. Ada lima macam pancaindra batin tersebut, yaitu (1) Al-Hiss Al-Musytarak (indra bersama), indra batin inilah yang menyebabkan objek indriawi muncul sebagai satu kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi data parsial yang dapat disumbangkan oleh tiap indra lahir. (2) Al-Khayal (daya imajinasi retentif), daya yang bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata, atau suara yang ditangkap telinga, dan pencerapan-pencerapan indra lainnya. (3) Al-Wahm (daya estimasi), indra batin ini dapat dapat menilai suatu benda berbahaya atau tidak, sehingga kita dapat mengambil tindakan, baik untuk menghindar maupun mendekatinya jika bermanfaat. (4) Mutakhayyilah (imajinasi), imajinasi dapat menangkap bentuk secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan dengan indra penglihatan yaitu indra penglihatan hanya bisa melihat satu bentuk dalam satu benda. Namun, imajinasi tidak hanya dapat mengabstraksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan menurut selera yang dikehendaki. (5) Al-Hafizhah (memori), memori berguna untuk melestarikan bentuk-bentuk imajiner, seperti "khayal" untuk merekam bentuk-bentuk fisik yang ditangkap oleh indra bersama. Memori menyebabkan kita bisa mengingat tidak hanya bentuk-bentuk fisik, tetapi juga bentuk-bentuk abstrak.
Akal dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra-indra kita (baik lahir maupun batin), yaitu kemampuannya untuk bertanya secara kritis. Akal dapat bertanya tentang apa, di mana, kapan, mengapa, dan siapa juga yang lainnya. Akal telah menjadi sumber informasi yang luar biasa kayanya dengan menjawab semua pertanyaan tersebut, yang tidak bisa dipasok oleh indra.
Dengan demikian, tidak bisa diragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, yang tanpanya manusia akan berada dalam kegelapan. Bagaimanakah kemampuan akal dapat dijelaskan? Itu tak lain karena akal memiliki perangkat-perangkat atau konstruksi-konstruksi mental, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kategori-kategori, seperti kategori ruang, waktu, substansi, kausalitas, relasi, dan kuantitas.
Namun, kelebihan yang paling istimewa dari akal terletak pada kemampuannya untuk menangkap esensi dari sesuatu yang diamati/dipahaminya. Dengan kemampuan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep universal dari suatu objek yang diamatinya, lewat indra yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan dengan data-data partikular. Ketika kita memahami esensi manusia, sebenarnya kita bukan lagi berbicara tentang manusia partikular a atau b, melainkan tentang manusia dalam pengertian universal atau tentang sifat dasar kemanusiaan.
Menurut Aristoteles, dengan kemampuan akal menangkap esensi (mahiyyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia bisa menyimpan jutaan "makna" atau "pemahaman" tentang berbagai objek ilmu yang bersifat abstrak, sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas di dalam pikiran kita. Namun, apakah hanya sampai indra dan akal sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran itu? Tentunya tidak, masih ada sumber ketiga (terakhir) yang lebih bersifat intuitif, yaitu hati (qalb).
Betapa pun sangat pentingnya akal, para filsuf Islam sepakat bahwa akal tetap bersifat terbatas, dan karenanya memerlukan sumber lain, yaitu hati (intuisi) yang bentuk tertingginya adalah wahyu. Bergson (1938) menyatakan bahwa akal sangat kompeten untuk menganalisis ruang, tetapi tidak tentang waktu. Untuk memahami waktu, harus menggunakan intuisi sebagai alat "metode filosofis" yang paling tepat. Akal sangat kompeten untuk memahami "pengalaman fenomenal", tetapi tidak untuk "pengalaman eksistensial".
Apa keistimewaan hati (qalb) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran dibandingkan dengan akal? Bagaimana intuisi mampu memahami banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal? Berikut ini adalah beberapa kelemahan akal dibandingkan dengan intuisi lebih unggul.
(1) Akal memang sangat berguna sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, tetapi hanya sebagai kecakapan intelektual. Akal sering dibuat tidak berdaya terhadap persoalan-persoalan hidup yang lebih dalam, menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalnya, akal tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran kita akan menjadi buntu dan lidah menjadi kelu. Dengan kata lain, akal tidak mengerti banyak tentang pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan. Hanya hati/intuisilah yang mampu melakukannya.
(2) Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang (spatialize) apa pun yang menjadi objeknya cenderung memahami sesuatu secara general/homogen sehingga tidak mampu mengerti keunikan suatu "momen" atau "ruang" sebagaimana yang dialami secara langsung.
Bahwa setiap saat dari kehidupan kita itu unik, sulit dimengerti oleh akal. Bagi akal, satu menit di sini akan sama saja dengan satu menit di mana pun. Akal tidak mengerti mengapa bagi seseorang ada hari yang baik dan hari yang buruk, dan mengapa bagi orang-orang tertentu ada tempat-tempat sakral dan profan.
(3) Akal tidak mampu memahami objek penelitiannya secara langsung karena akal dengan menggunakan kata-kata/simbol hanya akan berputar-putar seputar objek tersebut, tetapi tidak pernah dapat secara langsung menyentuhnya. Pengenalan akal terhadap objeknya bersifat simbolis, yakni melalui kata-kata. Akan tetapi, kata-kata saja tidak akan pernah memberi pengetahuan sejati (sebagaimana adanya) tentang suatu objek yang dipelajarinya.
Dengan demikian, untuk menutupi kekurangan akal, manusia dilengkapi Tuhan dengan hati atau intuisi (qalb), sehingga akan lengkaplah seluruh perangkat ilmu bagi manusia. Berikut ini adalah kelebihan hati (qalb) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran:
Ketika akal tidak mampu memahami "wilayah kehidupan emosional manusia", hati dapat memahaminya. Hati yang terlatih akan dapat memahami perasaan seseorang, misalnya hanya dengan mendengar suara atau memandang matanya.
Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati dapat menerobos ke alam ketidaksadaran (alam gaib/religius) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman nonindewi (extrasensory perception), termasuk pengalaman mistis dan religius. Ia bisa berkomunikasi melalui "bahasa hati" dengan makhluk gaib, seperti jin, malaikat, atau bahkan dengan Tuhan sendiri, seperti yang dialami para nabi dan rasul. Ibarat radar, hati terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan terang, betapapun redupnya sinyal itu dari sudut pandang akal.
Dengan dihindarinya kecenderungan-kecenderungan generalisasi dan spasialisasi yang bersifat rasional, hati mampu melihat dan menghayati setiap peristiwa apa pun sebagai peristiwa istimewa dan partikular. Hati dapat memahami pengalaman langsung yang kita rasakan (pengalaman eksistensial), yaitu pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, dan bukan sebagaimana yang dikonsepsikan akal. Misalnya, hati inilah yang dapat mengerti mengapa rentang waktu satu jam terasa berbeda bagi yang ditunggu dibandingkan dengan bagi yang menunggu.
Hati mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan "eksperensial" atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Misalnya, ia mengerti "manis" bukan dari kata orang atau melalui bacaan, melainkan justru dengan mencicipinya. Ia juga mengerti "cinta" bukan melalui teori-teori cinta yang sering jauh berbeda dengan yang dialami, melainkan memahaminya dengan betul-betul jatuh cinta.
Dengan demikian, sudah jelaslah keistimewaan hati/intuisi daripada akal bahkan indra. Sekarang, kita mengetahui bahwa alat/sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran tidak hanya pancaindra, melainkan akal dan hati disesuaikan dengan objek-objek keilmuan yang dikaji, baik itu objek fisik, matematik, maupun metafisik.

Selasa, 21 April 2009

PEMBELAJARAN MELALUI METODE PBL (PROBLEM BASED LEARNING) DALAM UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN'

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masyarakat dan bangsa Indonesia perlu dipersiapkan memasuki milenium ketiga dengan tuntutan-tuntutan global. Pendidikan di Indonesia termasuk pendidikan tinggi, belum bermakna bagi peningkatan kualitas manusia Indonesia. Kehidupan moral, etos kerja, kemampuan dan keterampilan yang masih rendah. Kehidupan global menuntut penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, pendidikan tinggi belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut.
Jatuh bangunnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan sering berubahnya kurikulum yang diterapkan pada pembelajaran. Fenomena yang sering terjadi di Indonesia yaitu setiap pergantian kabinet pemerintahan, dalam hal ini menteri pendidikan, berubah pula kurikulum yang diterapkan.
Pendidikan dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang baru, tentunya mengalami berbagai hambatan dan tantangan. Tantangan-tantangan tersebut ada yang berasal dari dalam (internal) antara lain sebagai warisan kebijakan-kebijakan pendidikan masa lalu. Tantangan-tantangan internal tersebut antara lain, masalah kesatuan bangsa, demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen pendidikan, dan kualitas pendidikan. Selain itu, terdapat tantangan global yaitu pendidikan yang kompetitif dan inovatif. Di dalam persaingan diperlukan kualitas individu yang dapat berkompetisi. Kemampuan berkompetisi tersebut dihasilkan oleh pendidikan yang kondusif dan efektif. Suatu sistem pendidikan dapat saja menghasilkan tenaga-tenaga pemikir yang berkembang tetapi apabila tidak inovatif maka kemampuan berpikirnya tidak akan mendapat makna di dalam kehidupan bersama.
Metode konvensional juga sudah banyak dikritik dan dituntut untuk diperbaiki. Pembelajaran konvensional yang sifatnya searah yaitu dari dosen ke mahasiswa dan mahasiswa hanya pasif menerima materi dari dosen, sekarang dianggap cara yang kurang tepat lagi. Diperlukan metode pembelajaran yang lebih efektif yaitu membuat mahasiswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk maksud ini adalah metode Problem Based Learning (Jogiyanto, 2006).
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning), merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada mahasiswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan mahasiswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga mahasiswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002).
Saat ini banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia hanya memiliki karakteristik antara lain, hanya memahami teori, memiliki keterampilan individual, motivasi belajar hanya untuk lulus ujian, hanya berorientasi pada pencapaian grade atau pembatasan target, orientasi belajar hanya pada mata kuliah individual secara terpisah, proses belajar bersifat pasif, hanya menerima informasi dari dosen, serta penggunaan teknologi terpisah dari proses belajar. Padahal, sumber daya manusia yang diperlukan dalam pasar kerja, antara lain kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiah, memiliki keterampilan team work, mempelajari bagaimana belajar yang efektif, berorientasi pada peningkatan terus-menerus dengan tidak dibatasi pada target tertentu saja. Setiap target yang tercapai akan terus-menerus ditingkatkan, membutuhkan pengetahuan terintegrasi antardisiplin ilmu untuk solusi masalah yang kompleks, bekerja adalah suatu proses berinteraksi dengan orang lain dan memproses informasi secara aktif, penggunaan teknologi merupakan bagian integral dari proses belajar untuk solusi masalah (Ragil Turyanto, 2007).
Kesenjangan utama yang terjadi di atas, membutuhkan perubahan proses belajar di perguruan tinggi dari metode konvensional berupa kuliah
atau ceramah, menjadi case Problem Based Learning yang mengandalkan analisis kasus dan solusi masalah sehingga memperoleh keterampilan sebagai problem solver yang handal. Kurikulum perguruan tinggi di Indonesia seyogyanya diarahkan untuk case Problem Based Learning yang dilakukan melalui teori-teori ilmu pengetahuan diorganisasikan di seputar masalah-masalah nyata yang diambil dari praktik-praktik profesional, melalui mengajukan pertanyaan-pertanyaan lintas topik sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan dan memperoleh keberhasilan (Ragil Turyanto, 2007).

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:
1.Apakah metode PBL dapat diaplikasikan untuk segala bentuk mata kuliah?
2.Bagaimana pengimplementasian metode PBL terhadap paradigma metode konvensional saat ini?
3.Bagaimana kesiapan infrastruktur dan sumber daya pengajar dalam menerapkan metode PBL?

1.3. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari pembuatan karya tulis ini, sebagai berikut:
1.Memahami konsep pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Learning.
2.Mampu memahami langkah-langkah pembelajaran PBL dalam menyelesaikan suatu masalah.
3.Menerapkan metode PBL dalam team work secara langsung.

1.4. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dari pembuatan karya tulis ini, antara lain:
1.Menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang mampu mengelola masalah masalah baik akademik maupun profesional dari mereka yang mencari atau membutuhkan pelayanan dalam bentuk yang kompeten.
2.Mengintegrasikan pengetahuan dasar keterampilan solusi masalah, keterampilan pembelajaran mandiri yang efektif, dan keterampilan kerja sama.




BAB II
TELAAH PUSTAKA


2.1. Definisi Problem Based Learning (PBL)
PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004). Menurut Boud dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa “Problem Based Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”.
H.S. Barrows (1982), sebagai pakar PBL menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL.
PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah merupakan pemandu utama ke arah pembelajaran tersebut. Boud dan Tamblyn (1980) mendefinisikan PBL sebagai ...the learning which result from the process of working towards the understanding of, or resolution of, a problem.
Menurut Duch (1995), PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
Margetson (1991) pula menganggap PBL sebagai konsep pengetahuan, pemahaman dan pendidikan secara mendalam berbeda daripada kebanyakan konsep yang terletak di bawah pembelajaran berasaskan mata kemahasiswaan. Dengan menggunakan pendekatan PBL ini, mahasiswa akan bekerja secara kooperatif dalam kumpulan untuk menyelesaikan masalah sebenarnya dan yang paling penting membina kemahiran untuk menjadi mahasiswa yang boleh belajar secara sendiri (Hamizer, dkk, 2003).
Mahasiswa akan membina kebolehan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan dengan ide yang dihasilkan serta apa yang akan dilakukan dengan maklumat yang diterima. (Gallagher, 1997). Di dalam melaksanakan proses pembelajaran PBL ini, Bridges (1992) dan Charlin (1998) telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama yang perlu ada di dalamnya seperti berikut:
1.Pembelajaran berpusat atau bermula dengan masalah.
2.Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan dihadapi oleh mahasiswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3.Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa semasa proses pembelajaran disusun berdasarkan masalah.
4.Para mahasiswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5.Mahasiswa akan bersifat aktif dengan pemrosesan maklumat.
6.Pengetahuan sedia ada akan diaktifkan serta menyokong pembangunan pengetahuan yang baru.
7.Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8.Mahasiswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9.Kebanyakan pembelajaran berlaku dalam kumpulan kecil dibanding menerusi kaidah perkuliahan.

2.2. Metode PBL
Alder dan Milne (1997:195) mendefinisikan PBL dengan metode yang berfokus kepada identifikasi permasalahan serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan. Metode ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan interaksi, mendiskusikan hal-hal yang tidak atau kurang dipahami serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling melaporkan.
Menurut Peterson (2004), metode PBL ini memberikan mahasiswa permasalahan yang tidak terstruktur dengan baik dan pemecahan masalah yang tidak satu saja karena berfokus pada pembelajaran sendiri (self-learning) serta sangat jauh dari penjelasan yang langsung ke inti atau penjelasan yang langsung diberikan oleh pengajar.
Milne dan McConnell (2001:64-65) memberikan gambaran proses ideal dari PBL yang terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Proses Ideal Metode PBL
Proses
Tujuan
Hasil
Pengajar memulai sesi awal PBL dengan presentasi permasalahan yang akan dihadapi oleh mahasiswa.


Mahasiswa terstimulus untuk berusaha menyelesaikan permasalahan di lapangan yang nantinya bisa saja menjadi situasi nyata tempat mereka bekerja.

Belajar sesuai konteksnya
akan diingat lebih lama dan dipahami lebih mudah.
Konteksnya relevan sehingga akan lebih memotivasi.
Mahasiswa mengorganisasikan
apa yang telah mereka pahami tentang permasalahan dan mencoba mengidentifikasi
hal-hal terkait.
Apa yang diketahui?
Mahasiswa berlatih mengobservasi. Mereka ditantang untuk memahami situasi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada.

Belajar secara terus-menerus mengarah kepada kebiasaan. Penstimulusan pengetahuan yang ada akan memfasilitasi integrasi pengetahuan baru.

Selama diskusi, mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka pahami (Apa yang
ingin diketahui?)

Mahasiswa terdorong untuk mengidentifikasi apa yang tidak mereka ketahui atau pahami. Ini
melengkapi dasar mereka dalam menghadapi tantangan belajar selanjutnya.

Belajar akan lebih baik jika mahasiswa bisa mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri.


Sebelum akhir sesi pertama, pengajar mendampingi mahasiswa untuk fokus terhadap pertanyaan yang dianggap penting. Mahasiswa menentukan cara
membagi tanggung jawab untuk menyelidiki pertanyaan (Apa yang akan
dilakukan? Apa yang harus dilakukan sebagian dari kita? Siapa yang melakukan
apa?)

Mahasiswa bisa memahami hal yang terjadi secara lengkap dan belajar menggunakan interrelating
ide serta pengetahuan dari bermacam disiplin. Kerja tim dan rasa kebersamaan juga akan berkembang.


Integrasi dari belajar membantu untuk menggabungkan
pemahaman. Kerja tim dan keahlian manajemen akan terbangun.


Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal sesi ini mahasiswa
diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh.






Mahasiswa berlatih menukar
informasi dari bermacam
sumber. Mereka membagi
pemahaman baru dengan
mempresentasikan serta
menanyakannya.







Mahasiswa belajar cara untuk mendapatkan informasi dari bermacam sumber. Mahasiswa
belajar bagaimana untuk mempresentasikan informasi dan bagaimana bertanya.
Pengetahuan baru dan Pemahaman diaplikasikan pada permasalahan. Mahasiswa menguji validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya. Mahasiswa mungkin membutuhkan penguraian solusi walaupun tidak selamanya itu penting.

Mahasiswa belajar mengaplikasikan pengetahuan baru terhadap
permasalahan semula atau
permasalahan yang akan terjadi nantinya.

Mahasiswa berlatih mentransfer pengetahuan dalam konteks nyata.


2.3. Kurikulum PBL
Pada saat ini beberapa program studi di beberapa perguruan tinggi menerapkan kurikulum (PBL), berbeda dengan kurikulum yang dikenal selama ini yang disebut dengan kurikulum konvensional. Kurikulum PBL bersifat sentral atau tidak lagi bersifat departemental. Perbedaan pokok antara keduanya terletak pada aspek integrasi disiplin ilmu, struktur unit ranah, dan ciri-ciri tiap disiplin ilmu (Supeno Djanali, 2005).
Terdapat dua jenis kurikulum PBL, yaitu hybrid PBL (hPBL) dan PBL curriculum (PBLc). Hybrid PBL bersifat sederhana, tidak serumit PBLc. Kurikulum PBL mengubah dan menstransformasikan seluruh kurikulum konvensional menjadi sistem blok melalui pemetaan kurikulum dan tujuan belajar yang terintegrasi. Pada hPBL, hanya sebagian dari kurikulum konvensional yang diubah dan ditransformasikan ke sistem blok. Dalam pelaksanaan hPBL digunakan strategi SPICES (student centered, problem-based learning, community oriented, early clinical exposure, self directed learning) dengan tetap memperhatikan adanya pengulangan materi yang bersifat spiral atau helix. Model hPBL seperti ini tidak mengganggu kurikulum konvensional yang ada (Harsono, 2005).
Setelah melalui proses ini, kurikulum yang telah tersusun perlu melalui beberapa tahap validasi sebelum dilaksanakan. Komisi yang dapat melakukan validasi antara lain Komisi Pengkajian Kurikulum yang dapat dibentuk di tingkat jurusan atau fakultas, atau sebagai salah satu komisi dalam senat fakultas.

2.4. Perbedaan Metode Konvensional dengan PBL
Metode konvensional berupa kuliah atau ceramah yang memusatkan perhatian mahasiswa sepenuhnya kepada dosen sehingga yang aktif di sini hanya dosen, sedangkan mahasiswa hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh dosen. Partisipasi mahasiswa rendah karena mahasiswa hanya diberi kebebasan untuk bertanya mengenai materi yang telah dijelaskan oleh dosen sehingga metode konvensional masih kurang menggugah daya pemikiran mahasiswa.
Sedangkan, metode PBL adalah metode perkuliahan yang berbasis kepada partisipasi para mahasiswa. Pada jam pertama perkuliahan, metode yang diterapkan adalah diskusi. Dosen memberikan pertanyaan kepada mahasiswa yang ditunjuk secara acak. Pertanyaan yang diajukan bersifat menggali pendapat dan mengembangkan kemampuan analisis mahasiswa. Kemudian, pada satu jam terakhir, dosen memberikan rangkuman dan inti dari diskusi pada hari itu disertai dengan inti dari konteks materi dihubungkan dengan implementasi di lapangan.
Tabel 2.2. Perbedaan Metode Konvensional dengan Metode PBL
Metode Konvensional
Metode PBL
Berfokus pada dosen
Berfokus di mahasiswa
Dosen menerangkan dan mahasiswa mendengarkan (one way learning).
Mahasiswa menjelaskan (two way learning).
Mahasiswa bertanya.
Dosen bertanya.
Dosen menjelaskan seluruh materi.
Dosen merangkum materi berdasarkan hasil diskusi/pemikiran mahasiswa.
Key process is teaching.
Key process is learning.
Dosen hanya menyiapkan materi.
Dosen tidak hanya menyiapkan materi, tetapi juga harus menguasai metode penyampaian materi yang efektif.
Mahasiswa membaca menjelang ujian, terutama catatan (reading habit rendah).
Mahasiswa membaca sesuai silabus sebelum kuliah dimulai (reading habit tinggi).
Mahasiswa pasif (partisipatif rendah).
Mahasiswa aktif (partisipatif tinggi).
Mahasiswa hanya menghafal materi) dan kemudian lupa.
Mahasiswa dapat dengan mudah menangkap esensi dari perkuliahan.
(Magister Management UI, 2006)
2.5. Pengembangan Sikap Kritis dalam Belajar
Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis-sistemik dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung. Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank (banking education). Sebaliknya pendidikan semacam itu justru pada dasarnya membunuh semangat, keingintahuan, dan kreativitas kita (Paulo Freire, 1999).
Berikut ini bagan evaluasi diri dalam pengembangan sikap kritis dalam belajar:

Gambar 2.1. Obyek dan Komponen Evaluasi Diri
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri BAN PT, 2002)

Dalam pendidikan gaya bank, yang dibutuhkan bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan. Sekali lagi bukannya memahami teks, tetapi tugasnya hanya menghafal dan jika mahasiswa melakukannya berarti telah memenuhi kewajibannya. Lain halnya dengan visi pendidikan yang kritis : seorang pembaca, dalam hal ini adalah pelajar merasa tertantang oleh teks yang disodorkan padanya dan tujuan membaca adalah untuk memahami makna yang lebih dalam.
Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar menurut Paulo Freire (1999) :
a.Pembaca harus mengetahui peran dirinya. Tidak mungkin orang dapat belajar secara serius jika motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika dia bersikap pasif dan terbelenggu, hanya berusaha menghafal pemikiran pengarangnya, atau jika dia membiarkan dirinya ’diserbu’ oleh pemikiran pengarang, atau jika pembaca dijadikan sebuah ’bejana’ yang cukup diisi dengan kutipan-kutipan dari teks yang termaktub di dalamnya.
b.Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Belajar adalah memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berpikir secara benar. Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha menemukan jawaban, serta terus mencarinya. Dengan memelihara sikap ingin tahu ini menyebabkan kita menjadi cekatan dan mendapat banyak keuntungan.
Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia (yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang dimulai dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang dipaparkan dalam teks-teks.
Semakin tekun kita belajar semakin kita mempunyai pandangan global dan makin mampu mengaplikasikannya ketika membaca suatu teks dengan cara memilah-milah komponennya. Membaca ulang sebuah teks untuk mengetahui batasan-batasan komponen tersebut akan menciptakan pemahaman yang lebih signifikan secara keseluruhannya.
Kualitas perilaku belajar tidak bisa diukur dengan jumlah halaman yang dibaca selama satu semester. Belajar bukanlah mengonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide.
Berikut ini bagan Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi dengan Perwujudan Suasana Akademik Kondusif:


Gambar 2.2. Mekanisme Standar Keterkaitan Tri Dharma Perguruan Tinggi Terintegrasi dengan Perwujudan Suasana Akademik Kondusif
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri BAN PT, 2002)

Konsep inovasi pendidikan (Harsono, 2004):
1.Mahasiswa memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang dijumpainya.
2.Student-centered: mahasiswa belajar secara aktif dan mandiri (sebagai adult learner) dengan sajian materi terintegrasi (horisonal dan vertikal) dan relevan dengan real setting (profesionalisme).
3.Mahasiswa mampu berpikir kritis, mengembangkan inisiatif.

2.6. Studi Kasus dalam Metode PBL
Metode studi kasus memungkinkan mahasiswa mempraktikkan keterampilan komunikasi baik secara tertulis maupun lisan. Metode studi kasus menggunakan strategi pembelajaran kooperatif atau kolaborasi antara dosen yang berfungsi sebagai fasilitator dan mahasiswa sebagai team (kelompok) melalui diskusi dan presentasi kelompok. Latihan-latihan berpikir yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa sebagai team work dalam melakukan analisis studi kasus adalah serupa analogi dengan aktivitas ilmuwan dalam riset.
Latihan-latihan solusi masalah dalam studi kasus merupakan pelatihan dan persiapan yang baik bagi mahasiswa yang akan memasuki dunia kerja (bisnis dan industri) maupun akan meniti karier sebagai ilmuwan, karena akan memberikan kebiasaan “berpikir melalui masalah (think through the real problems)”.
Mahasiswa sering bertanya mengapa mereka perlu mempelajari suatu topik atau informasi apa yang akan diperoleh dan digunakan oleh mereka ketika mempelajari topik. Studi kasus menempatkan pembelajaran dalam konteks dunia, yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata atau setidak-tidaknya mendekati dunia nyata.
Belajar menganalisis dan menyelesaikan studi kasus merupakan penerapan “body of knowledge” yang penting dan sesungguhnya. Studi kasus mengembangkan kemampuan penggunaan atau penerapan ilmu pengetahuan secara efektif dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah-masalah.


2.7. Langkah-Langkah Kegiatan PBL
Peran mahasiswa secara umum dalam perkuliahan ber-PBL adalah mempersiapkan diri untuk belajar dan bekerja secara kelompok serta berperan aktif dalam kuliah. Peran serta mahasiswa yang dimaksud adalah seperti menghadiri dan mengikuti keseluruhan perkuliahan dan tidak diperkenankan men-drop mata kuliah di saat mata kuliah tersebut sedang berjalan.
Dalam mengikuti kegiatan PBL, waktu kegiatan disesuaikan dengan beban kurikulum yang hendak dicapai. Setiap pengajar memiliki kebijakan sendiri dalam menyusun waktu kegiatan yang akan dilaksanakan.

Tabel 2.3. Langkah-langkah PBL berikut ini:
Kegiatan
Langkah-langkah
Pembimbing
Diskusi kelompok I




1. Identifikasi masalah
2. Analisis masalah
3. Hipotesis/penjelasan logis sistematis
4. Identifikasi pengetahuan
Fasilitator




Belajar mandiri/ individual
1. Penentuan sumber pembelajaran
2. Identifikasi pengetahuan baru
3. Sintesis pengetahuan lama dan baru untuk diterapkan pada permasalahan
Narasumber
Diskusi kelompok II
1. Pengulangan kegiatan
2. Menyimpulkan hal yang tidak dipelajari
3. Perangkuman hasil/penyusunan laporan ke masalah berikutnya
Fasilitator
BAB III
METODE PENULISAN


3.1. Waktu dan Tempat Penulisan
Penulisan dilaksanakan pada bulan Februari 2008. Penyusunan karya tulis ini bertempat di Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

3.2. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dilakukan pada karya tulis ini adalah dengan cara penelusuran data. Informasi pada karya tulis ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari buku tentang kehidupan politik pendidikan di Indonesia, Filosofi, Pendekatan dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus. Selain itu, pengumpulan data dilakukan juga melalui pencarian berbagai jurnal dan artikel di internet yang memuat informasi mengenai metode Problem Based Learning (PBL) baik pengaruh maupun pengaplikasiannya.
Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan diantaranya sebagai berikut :
1. Mengamati dan menelaah mengenai PBL.
2. Menelaah metode PBL di Indonesia.
3. Pencarian dan pengumpulan data yang dilakukan melalui studi literatur yang dilakukan baik di perpustakaan maupun di internet.
4. Analisis informasi yang meliputi :
a. Klasifikasi data, yaitu pengelompokkan data berdasarkan permasalahan yang akan dibahas.
b. Klarifikasi data, yaitu membandingkan data yang sama dari narasumber yang berbeda kemudian menentukan data yang digunakan berdasarkan informasi yang paling akurat
c. Menginterpretasikan data berdasarkan hubungan antara data yang satu dengan data yang lainnya.
d. Penulisan laporan, dimana hasil interpretasi data dari sumber-sumber yang ada dirangkai secara sistematis dan logis dalam bentuk karya tulis.

BAB IV
PEMBAHASAN


4.1. Penerapan Metode PBL pada Mata Kuliah
Howard Barrows (2005) menyatakan PBL merepresentasikan metode belajar yang “Learn-by-doing” dan akar dasarnya adalah metode pemagangan (apprenticeship), dimana pemula mempelajari pengetahuan dan keterampilan dari bidang yang dipilihnya dengan mengerjakan sesuatu dibawah panduan dan pengajaran seorang yang ahli, sampai ia nantinya mampu menghasilkan karyanya sendiri. PBL telah mengembangkan metode pembelajaran ini, yang barangkali sama tuanya dengan peradaban manusia, dengan pemahaman baru melalui penelitian tentang pendidikan dan pengalaman dalam tiga puluh tahun terakhir. Selayaknya seorang pakar, seorang pengajar menjadi tutor yang akan memfasilitasi proses pembelajaran, dan memungkinkan mahasiswa mengambil banyak manfaat saat mereka belajar.
Strategi dalam PBL adalah memberikan mahasiswa “problem” dan tugas yang akan mereka hadapi dalam dunia kerja dan dalam proses usaha mereka memecahkan masalah tersebut mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan atas masalah itu. Karena itu, sebaiknya urutan-urutan pembelajaran mahasiswa paralel dengan urutan kejadian yang terjadi di dunia kerja sehingga mahasiswa akan mendapatkan keterampilan kognitif dan pengetahuan yang mereka butuhkan di dunia kerja saat mereka belajar dengan konteks dunia kerja.
Dalam proses ini mahasiswa bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri karena keterampilan itu yang akan mereka butuhkan nantinya dalam kehidupan profesional mereka. Mereka menerapkan apa yang telah mereka ketahui, menemukan apa yang perlu mereka ketahui, dan belajar bagaimana mendapatkan informasi yang dibutuhkan lewat berbagai sumber termasuk sumber-sumber online, perpustakaan, profesional dan para pakar. Singkatnya, PBL bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan kecakapan yang penting yakni pemecahan masalah, belajar sendiri, kerja sama tim, dan pemerolehan yang luas atas pengetahuan (H.Barrows, 2005).
PBL kini telah meluas digunakan di seluruh dunia untuk semua tingkatan pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan pascasarjana profesional. PBL juga optimal untuk berbagai fakultas dan bidang. Berbagai fakultas yang mempunyai berbagai bidang baik eksakta maupun non-eksakta, tentu memiliki suatu permasalahan yang secara tidak langsung harus dapat dipecahkan oleh mahasiswa.
Tidak semua mata kuliah atau mata pelajaran dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan metode PBL. Mata kuliah tingkat lanjut lebih cocok diajarkan dengan metode PBL karena dalam PBL pembelajaran mahasiswa dilakukan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang dimiliki mahasiswa dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu. Mata kuliah yang sangat relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB). Mata kuliah selain kelompok MKB perlu ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan mata kuliah ber-PBL dan mendukung paradigma studend-centered learning. Proses pembelajaran dalam mata kuliah tersebut ditingkatkan dengan mengadopsi pilar student-centered learning (Sudarman, 2007).
Di sisi lain, mata kuliah kuantitatif lebih cocok menggunakan metode PBL. Dalam PBL, mahasiswa diberikan soal hitungan yang sederhana. Mahasiswa dapat mengerjakan soal tersebut cukup dengan membaca materi dari text book. Dengan demikian, mahasiswa merasa percaya diri mengikuti perkuliahan hari tersebut karena merasa bisa mengerjakan tugas yang diberikan. Lalu, ketika perkuliahan dimulai dengan pembahasan tugas, mahasiswa bisa diminta satu per satu untuk mengerjakan tugas di depan atau ditanya satu per satu. Pembahasan tugas tersebut dilanjutkan dengan lecturing. Pada akhir pertemuan, inti materi hari tersebut serta kaitannya dengan materi untuk pertemuan minggu selanjutnya ditekankan kembali.
Pendidikan tinggi selain memberikan teori-teori yang cukup, juga perlu memberikan contoh-contoh pemecahan problem nyata dengan memanfaatkan teori-teori yang ada. Dengan demikian, pengembangan proses pembelajaran secara alamiah disimulasi oleh masalah-masalah pada situasi nyata dimana PBL menstimulasi proses belajar dengan menggunakan masalah-masalah tersebut pada situasi nyata dari suatu bidang.
Institusi, mahasiswa, pengajar masing-masing punya peran yang saling menunjang. Para pengajar, terutama punya peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa dimaksimalkan. Para Pengajar harus mampu mengeluarkan kemampuan setiap mahasiswa dan memungkinkan mereka berkembang. Para pengajar harus meneliti ulang peran mereka kini.
Untuk menghasilkan bibit mahasiswa yang baru, para pengajar dan institusi juga harus berubah. Para pengajar juga harus “belajar” dan “belajar ulang” agar tetap terus relevan dan menginspirasi mahasiswa kita untuk memaksimalkan potensi mereka.
PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, mahasiswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi bila masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi….”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri mahasiswa maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran dosen sebagai fasilitator untuk mengarahkan mahasiswa tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.
Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh mahasiswa yang diajar dengan PBL yaitu:
1. Inkuiri dan keterampilan melakukan pemecahan masalah,
2. Belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan
3. Keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Inkuiri dan keterampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan sebelumnya. Mahasiswa yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) di mana mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk membantu mahasiswa mahasiswa belajar secara mandiri.
Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual.
Kasus-kasus berhubungan, membantu mahasiswa untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu mahasiswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu mahasiswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir divergen di dalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang mahasiswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.
Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi mahasiswa dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains, pengetahuan sains yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.
Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang intensif dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah.
Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang menjadi fokus pembelajaran dapat membuat mahasiswa termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antarmahasiswa dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para dosen untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena:
1. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.
2. Dalam situasi PBL, mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung.
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Gejala umum yang terjadi pada mahasiswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus maka mahasiswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBL mungkin dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong mahasiswa berpikir dan bekerja dibanding menghafal dan bercerita.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa.

4.2. Pengimplementasian Metode PBL dalam Pembelajaran
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan berasal atau berubah lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi, dengan keadaan bahwa karakteristik-karakteristik dari perubahan aktivitas tersebut tidak dapat dijelaskan dengan dasar kecendrungan-kecendrungan reaksi asli, kematangan, atau perubahan-perubahan sementara dari organisme.(Learning is the process by which an activity originates or is changed through reacting to an encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity cannot be explained on the basis of native response tendencies, maturation, or temporary state of the organism) (Hilgard dan Bower,1996,hal 2, di Bonoma,1987).
Berikut ini bagan Proses Transformasi-Produktif di Perguruan Tinggi:


Gambar 4.1. Proses Transformasi-Produktif di Perguruan Tinggi
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri Program Studi –BAN PT, 2002)

Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum, penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, mahasiswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya (I Wayan Dasna dan Sutrisno, 2007).
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada mahasiswa.
Berikut Diagram Sebab-Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif:




Gambar 4.2. Diagram Sebab-Akibat Pembentukan Suasana Akademik Kondusif
(Sumber : Buku Pedoman Evaluasi-Diri Program Studi –BAN PT, 2002)

Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:
1.Mengidentifikasi masalah,
2.Mengumpulkan data,
3.Menganalisis data,
4.Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
5.Memilih cara untuk memecahkan masalah,
6.Merencanakan penerapan pemecahan masalah,
7.Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan, dan
8.Melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills).
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi ”masalah” bagi dosen dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran.
Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh dosen pada tahap ini. Walaupun dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini dosen harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan. Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how.
Setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Namun yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas.

4.3.Infrastruktur dan Sumber Daya Pengajar dalam Menerapkan Metode PBL
Sebelum melaksanakan perkuliahan dengan metode PBL perlu dilakukan persiapan yang lebih intensif. Dalam perkuliahan dengan metode PBL ada tiga komponen yang akan bekerja yaitu (1) insitusi, (2) dosen dan asisten dosen, dan (3) mahasiswa. Ketiga komponen ini bekerja sesuai peran atau tugas masing-masing untuk mencapai pembelajaran dalam mata kuliah ber-PBL secara optimal.
Institusi dalam PBL adalah perguruan tinggi atau satuan pendidikan. Institusi ini akan mendukung pelaksanaan pembelajaran ber-PBL antara lain: (1) mempersiapkan sarana perkuliahan, perpustakaan, dan alat-alat laboratorium, (2) menjamin keterlaksanaan perkuliahan dengan mengganti kuliah yang tak terselenggara dan bila diperlukan membentuk tim dosen mata kuliah, (3) menyediakan asisten perkuliahan, (4) mempersiapkan sarana jaringan komputer, dan (5) merekam kehadiran perkuliahan mahasiswa dalam database sehingga informasinya dapat digunakan untuk evaluasi pelaksanaan mata kuliah ber-PBL.
Dalam PBL, peran dosen dan asisten adalah sebagai fasilitator pembelajaran dan membangun komunitas pembelajaran. Peran dosen adalah:
1.Mempersiapkan skenario yang akan dibahas pada tiap sesi dan mengatur silabus mata kuliah dalam format Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS). Jumlah sesi disesuaikan dengan cakupan materi, output, dan outcome dari perkuliahan.
2.Secara bertahap mempersiapkan materi perkuliahan dalam bentuk file elektronik dan memberikan beberapa sumber antara lain buku referensi dan link website.
3.Mendorong para mahasiwa untuk mengeksplorasi pengetahuan yang diperlukan selanjutnya. Dosen umumnya diharapkan untuk menahan diri tidak memberikan informasi, sebaliknya mendorong dilakukannya diskusi dan pembelajaran antar para mahasiswa.
4.Sebagai evaluator. Walaupun peran dosen tidak lagi dominan dalam pelaksanaan perkuliahan ber-PBL, namun tetap dosen bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan pelaksanaan dan pencapaian tujuan perkuliahan. Untuk itu secara berkelanjutan, dosen perlu mengevaluasi pelaksanaan perkuliahan dan melakukan perbaikan segera bilamana diperlukan baik dari sisi content maupun proses.











BAB V
PENUTUP


5.1. Kesimpulan
1.Problem Based Learning (PBL) optimal untuk segala fakultas, tetapi tidak semua mata kuliah dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan metode PBL. Mata kuliah yang sangat relevan dilaksanakan dengan metode PBL adalah mata kuliah kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB).
2.Secara umum pengimplementasian model ini mulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan oleh mahasiswa. Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana.
3.Infrastruktur harus dipersiapkan dalam pelaksanaan PBL dengan baik. Institusi, mahasiswa, pengajar masing-masing mempunyai peran yang saling menunjang. Para pengajar, terutama mempunyai peran memberikan inspirasi agar potensi mahasiswa dimaksimalkan.

5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis, antara lain:
1.Diperlukan penerapan metode Problem Based Learning (PBL) di berbagai fakultas, sehingga dapat dihasilkan lulusan yang kompeten, mampu berkompetisi, cerdas, kreatif, peka terhadap perubahan di lingkungan, serta mampu mencari solusi pemecahan masalah.
2.Kurikulum perguruan tinggi di Indonesia seyogyanya diarahkan untuk case Problem Based Learning (PBL) yang dilakukan melalui teori-teori ilmu pengetahuan diorganisasikan diseputar masalah-masalah nyata yang diambil dari praktik-praktik profesional.




DAFTAR PUSTAKA

Adler, Ralph W. and Milne, Markus J. 1997. Improving The Quality of Accounting Students’Learning Through Action-Oriented Learning Tasks. Accounting Education. Vol. 6 No. 3: 191-215.
Amir, M. Taufiq. 2005. PBL Optimal Untuk Segala Bentuk Fakultas (Wawancara dengan Prof. Howard Barrows, MD). Diakses dari http://www.ibii.ac.id/files/newsletter/edisi3/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Bahti, Husein H. 2006. Riset Multidisiplin Dan Terpadu Untuk Pelaksanaan Tridharma Di Unpad Sebagai (Calon) Perguruan Tinggi Bhpmn Dengan Visi Research University. Diakses dari http://www.unpad.ac.id pada tanggal 10 Februari 2008.
Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah metodologi penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM.
Depdiknas. Buku Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. 2003. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi - Departemen Pendidikan Nasional.
Djanali, Supeno. 2005. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Djanali, Supeno. 2005. Suasana Akademik. Diakses dari http://www.kopertis4.or.id/ pada tanggal 21 Februari 2008.
Ferdian, Riki. 2006. Pengaruh Problem-Based Learning (Pbl) Pada Pengetahuan Tentang Kekeliruan DanKecurangan (Errors And Irregularities). Diakses dari http://info.stieperbanas.ac.id/makalah/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harsono. 2004. Pengalaman inovasi pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM. Makalah Seminar Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem-Based Learning berbasis ICT (Information and Communication Technology), pada tanggal 15 Mei 2004, Yogyakarta.
Harsono, 2005, Pengantar Problem-Based Learning, edisi kedua. Medika: Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Jogiyanto. 2006. Filosofi, Pendekatan dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus. Yogyakarta: Andi.
Magister Management-UI. 2007. Proses Belajar-Mengajar. Diakses dari http://www.mmui.edu/pcl.html pada tanggal 11 Februari 2008.
Nur, M., Wikandari, Prima, R.,. 1998. Pendekatan-pendekatan Konstruktivis dalam Pembelajaran. Surabaya: IKIP Surabaya.
Ragil Turyanto. 2007. Case (Problem) Based Learning. Diakses dari http://ragilt.org/archives/case-problem-based-learning.html pada tanggal 10 Februari 2008.
Saptono, R. 2003. Is Problem Based Learning (PBL) a better approach for engineering education? CAFEO-21 (21st Conference of the Asian Federation of Engineering Organization), 22-23 October 2003, Yogyakarta.
Sudarman. 2005. Problem Based Learning Suatu Model Pembelajaran untuk Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Diakses dari http://jurnaljpi.files.wordpress.com/2007/09/04-sudarman.pdf pada tanggal 23 Februari 2008.
Suradijono, SHR. 2004. Problem-based learning: Apa dan bagaimana? Makalah Seminar Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem Based Learning berbasis ICT (Information and Communication Technology), 15/5/2004, Yogyakarta.
Turyanto, Ragil. 2007. Case (Problem) Based Learning. Diakses dari http://ragilt.org/archives/case-problem-based-learning.html pada tanggal 10 Februari 2008.

Warmada, I Wayan. 2004. Problem-based learning (PBL) berbasis teknologi informasi (ICT). Diakses dari http://www.te.ugm.ac.id/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Zulharman. 2007. Problem Based Learning (PBL). Diakses dari http://zulharman79.wordpress.com/2007/07/15/problem-based-learning-pbl/ pada tanggal 10 Februari 2008.
Teori Problem Based Learning
Pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem-Based Learning (PBL) adalah berpusat pada siswa, dan menggunakan pendekatan kontekstual pendidikan yang diterima di sekolah. Dalam pendekatan ini belajar dimulai dengan masalah untuk dipecahkan dan lebih dari hanya sekedar penguasaan terhadap isi materi. Hal ini adalah sesuai dengan model baru dalam proses pembelajaran yang menekankan pada kebutuhan bahwa pembelajaran bukan hanya sekedar melakukan transmisi pengetahuan namun proses pembelajaran mengutamakan keaktifan siswa dan meminimalkan peran guru didalamnya.
Teori dalam PBL nyata-nyata membantu siswa dalam mengembangkan: 1) pemahaman pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah melalui kasus-kasus dunia nyata, 2) strategi pengembangan alasan atau pertimbangan, dan 3) mengembangkan strategi belajar mandiri (self-directed learning strategies). Menurut Bereiter dan Scardamalia dalam Daphne (1996) khusus untuk pengembangan strategi belajar mandiri adalah berguna untuk menanamkan sikap bahwa belajar adalah merupakan kebutuhan sepanjang hayat.

Kamis, 16 April 2009

Perencanaan pengajaran berarti pemikiran tentang penetrapan prinsip- prinsip umum mengajar didalam pelaksanaan tugas mengajar dalam suatu interaksi pengajaran tertentu yang khusus baik yang berlangsung di dalam kelas ataupun diluar kelas. Dalam pengajaran terdapat kesenjangan. Hal ini merupakan cirri khusus suatu pengajaran. Pengajaran terjadi setelah usaha tertentu dibuat untuk mengubah sesuatu keadaan semula menjadi sesuatu yang diharapkan.

Perencanaan pengajaran mempunyai beberapa faktor yang mendukung tujuan pembelajaran tercapai misal :

a. Persiapan sebelum mengajar

b. Situasi ruangan dan letak sekolah dari jangkauan kendaraan umum

c. Tingkat intelegensi siswa

d. Materi pelajaran yang akan disampaikan

Tujuan pembelajaran terbagi atas 2 bagian :

a. Tujuan pembelajaran umum : Tujuan umum ini diturunkan dari 3 sumber, masyarakat, siswa, dan bidang studi. Yang diturunkan dari masyarakat mencakup kosep luas seperti ”membentuk manusia pancasila”, ”manusia berkepribadian”, dan sebagainya. Yang diturunkan dari siswa adalah keterampilan dalam memecahkan masalah, memanagemen waktu secara baik, dan sebagainya. Yang diturunkan dari bidang studi adalah membuat siswa mengerti apa yang diajarkan oleh bidang studi tersebut.

b. Tujuan pembelajaran khusus : tujuan khusus ini lebih spesifik, contohnya dalamsains ”sadar akan keindahan dan keteraturan dalam lingkungan.

Perencanaan pengajaran mempunyai kegiatan pokok antara lain adalah :

a. Menentukan hasil belajar yng bisa diamati dan diukur

b. Mengenal ciri siswa yang akan belajar

c. Memilih dan menyelenggarakan kegiatan

d. Memilih dan mnentukan media

e. Memantau prilaku siswa

f. Menentukan metode yang tepat untuk menilai kemampuan siswa

Memilih Media Yang Sesuai

Memilih metode dalam kegiatan belajar mengajar bertujuan untuk memotivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan dapat memberikan suasana yang berbeda didalam kegiatan pembelajaran sehingga tidak membuat siswa menjadi cepat bosan.

Ada Beberapa Jenis Media Pengajaran Yang Dilakukan Seorang Guru :

1. Media gratis

2. Media tiga dimensi

3. Media proyeksi

4. Lingkungan

Manfaat media pendidikan bagi pengajaran :

1. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga lebih jelas dipahami siswa sehingga memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.

2. Metode mengajar akan lebih bervariasi

3. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar

4. Motivasi belajar dari para siswa dapat ditumbuhkan / dinaikkan

5. Dapat mengatasi sifat pasif dari para siswa

Kesulitan- Kesulitan Dalam Media Pengajaran :

1. Biaya pengadaan

2. Pengalaman seorang guru dalam menggunakan media pengajaran tersebut.