Senin, 18 Januari 2010

Hukum dan Perilaku

HUKUM DAN PERILAKU

Berawal dari kebutuhan untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat, akhirnya hukum berkembang menjadi sistem yang canggih. Hukum romawi-yunani disebut-sebut puncak dari pengembangan hukum sebagai institute yang canggih. Kecanggihan tersebut harus dibayar mahal oleh masyarakat untuk menciptakan dan mendatangkan keadilan dalam masyarakat, hukum malah lebih sering menjadi problem daripada menyelesaikan problem keadilan. Keadilan memang merupakan sesuatu yang abstrak tetapi sekaligus sangat diharapkan dan dinanti-nanti oleh masyarakat. Selama ribuan tahun lamanya orang berhukum dengan cara yang boleh disebut lebih alami atau subtansial, yaitu perburuan keadilan. Dari situ kemudian mengalir yang lain-lain, seperti logika dan prosedur hukum, personel-personel dan administrasi yang khusus. Oleh sebab itu hukum tidak hanya dikonsepkan sebagai peraturan (rules) melainkan juga perilaku manusia (behaviour).
Manusia tidak memulai kehidupan bersamanya dengan membuat system hukum, melainkan membangun suatu masyarakat. Baru dari kehidupan bersama yang bernama masyarakat itu dilahirkan hukum. Masyarakat itulah yang menjadi wadah sekalian aktivitas para anggotanya. Maka pekerjaan rumah pertama adalah membangun suatu kehidupan bersama di atas individu para anggotanya. Masyarakat sebagi kebersamaan itu dibangun di atas basis kepercayaan dan saling membutuhkan. Dalam pada itu, hukum (modern) dibangun di atas massa perundang-undangan, prosedur, birokrasi dan sistem. Untuk menghadirkan suatu masyarakat yang berkualitas baik, dibutuhkan cara hidup bekerja-bersama, bukan berhadap-hadapan dan berbenturan. Membangun suatu kehidupan bersama tidak dapat sama sekali mengabaikan keduanya, yaitu kepercayaan dan kerja sama. Maka tidak berlebihanlah manakala dikatakan, bahwa keduanya merupakan batu-batu yang membangun suatu masyarakat, kepercayaan dan kecenderungan bekerja sama tersebut merupakan symbol dari “masyarakat yang sehat”, “hidup yang baik” dan “perilaku serta budi pekerti yang baik”. Kejujuran, kesantunan, dapat dipercaya, penghormatan terhadap orang lain, kepedulian terhadap sesama, tidak berbuat curang dan jahat kepada orang lain adalah beberapa contoh berperikehidupan yang baik. Perkembangan masyarakat terutama melalui modus perekonomiannya mendorong munculnya suatu kehidupan bersama yang semakin terstruktur dan dikonstruksikan dengan sengaja. Pembangunan hukum yang mengingkari dasar-dasar tersebut akan terkena hukuman (sanksi). Hukuman ini, seperti dikatakan karl renner dapat terjadi dalam bentuk dinamika masyarakat yang mencari jalannya sendiri untuk muncul apabila dibendung oleh kontruksi hukum yang artifisial.
Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional. Panggung hokum pun sudah bergeser dari dunia nyata ke dunia maya yang terdiri dari kalimat dan kata-kata. Setiap kali membuat rumusan tertulis, maka setiap kali itu pula kita mereduksi suatu gagasan yang utuh ke dalam suatu kalimat. Perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi dan mendorong kebutuhan akan perumusan atau konstruksi seperti itu. System perekonomian modern yang kapitalistis misalnya, sangat membutuhkan kepastian dan ketepatan. Oleh karena itu, dibutuhkan tipe hukum baru yaitu hukum yang dirumuskan secara pasti. Dengan berpedoman kepada hokum yang demikian itu, proses-proses ekonomi, perencanaannya dan sebagainya dapat dilakukan dengan lebih baik. Berhukum yang mendasarkan pada teks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum secara kaku dan regimentatif. Cara berhukum yang demikian itu, apalagi yang sudah bersifat eksesif, menimbulkan persoalan besar, khususnya dalam hubungan dalam pencapaian keadilan. Apabila hukum itu cacat sekjak dilahirkan maka penyebabnya karena kita merumuskan sebuah subtansi, ide, ke dalam kalimat, kata-kata tau bahasa. Hukum modern tidak dapat menghindari dari penciptaan dan penggunaan teks-teks yang dibuat secara rasional. Di lain pihak hukum tertulis itu tidak dapat menggantikan secara sempurna hukum sebagai suatu kaidah alami.
Hukum yang oleh positivis dilihat sebagai teks dan mengeliminasi factor serta peran manusia, mendapatkan koreksi besar dengan menempatkan peran manusia tidak kurang sebagai posisi sentral. Hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi “hidup”. Dalam kepustakaan sosiologi hukum perantaraan seperti itu disebut sebagai mobilisasi hukum. Perilaku dan tindakan manusia itu dapat menambah dan mngubah teks. Penegakan hukum (law enforcement) adalah konsep normatif, di mana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan. Menurut Cotterrell, Negara hanya menyediakan fasilitas melaui pembuatan hukum dan untuk selebihnya diserahkan kepada rakyat. Diserahkan kepada rakyat berarti menerahkan pilihan kepada rakyat tentang apa yang ingin dilakukannya, apakah menggunakan hukum atau tidak. Hukum sebagai perilaku itu muncul secara serta merta atau spontan lewat interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Perilaku hukum yang tampak sebagai mematuhi hukum tidak selalu bertolak dari kesadaran untuk patuh kepada hukum. Ilmu hokum sebagai sebenar ilmu (genuine science) tidak hanya harus dapat membaca hukum sebagai perilaku tersebut. Tetapi tidak dapat memaksakan, melainkan dengan terbuka melihat dan menerima apa yang terjadi dalam kenyataan. Sistem hukum modern ituakan tetap berdampingan dengan hukum yang muncul secara spontan, seperti dalam bentuk perilaku.
Kehidupan normatif suatu bangsa tidak dimulai sejak kehadiran dan penggunaan hukum atau hukum modern, melainkan sudah jauh menjorok ke masa sebelumnya, menjorok keabad-abad lalu yang jauh. Kehadiran hukum modern memang telah mengubah secara radikal cara bangsa-bangsa di dunia berhukum, tetapi sejarah kehidupan normatif suatu bangsa tidak dimulai dari situ tapi perilaku subtansial itulah yang merupakan awal dan melandasi kehidupan berhukum manusia. Kehidupan bersama manusia dimulai dari ikatan normatif berupa kesantunan hidup dan baru di belakang nanti muncul system hukum formal. Demikian pula dengan kehadiran hukum di luar Negara, yang mewakili hukum yang spontan di tengah-tengah dominasi negara sebagai simbol hukum yang dibuat dengan sengaja. Kaidah-kaidah muncul secra serta-merta dari interaksi antara para anggota masyarakat. Ini adalah cara berhukum melalui perilaku in optima forma. Dikatakan demikian, oleh karena berhukum dengan teks sesungguhnya pada akhirnya juga berujung pada perilaku, tetapi perilaku yang diproyeksikan pada teks hukum.
Hukum modern yang umum dipakai di dunia dewasa ini memiliki sejarah pembentukan dan perkembangan yang sangat panjang, oleh karena itu perkembangan hukum modern itu harus berbarengan dengan transformasi-transformasi sosial, politik, ekonomi dan kultural. Lokalitas atau tempat di mana persemaian, pertumbuhan dan perkembangan hukum modern adalah eropa yang juga disebut dunia barat. Berbeda dengan kosmolog, maka dibarat, manusia adalah seorang individu yang penuh dan otonom. Ia bebas berpikiran, bercita-cita, dan berkehendak tanpa harus memedulikan dan dikekang oleh kerangka sosialitas yang lebih besar. Maka menyusul ambruknya tatanan feodal terjadilah pula keambrukan-keambrukan tatanan sampai akhirnya muncul tatanan yang demokratis, tidak absolute-otoriter dan seterusnya, tapi tatanan sosial-politik mutakhir inilah yang memunculkan hukum modern. Secara teori bahwa system hokum modern yang sudah menyebar di dunia itu hanya bekerja efektif pada bangsa-bangsa yang memilki sekalian karakteristik yang sama dengan eropa. Dalam pada itu, dunia ini adalah sebuah komunitas besar sarat dengan kemajemukan, baik dalam kosmologi maupun dalam perkembangan sosial-politiknya. Bagi Indonesia hokum modern itu juga tidak diciptakan dari dalam bahasa Indonesia melainkan hukum yang didatangkan dan dipaksakan dari luar yaitu eropa.
Cara berhukum subtansial adalah yang dimulai dari interaksi antara para anggota suatu komunitas sendiri yang kemudian menimbulkan hukum. Interaksi tersebut adalah sebuah proses kimiawi yang akan menghasilkan sebuah pola yang mapan dan poada akhirnya berfungsi sebagai hukum. Untuk melacak munculnya berhukum secara subtansial itu kita memasuki ranah sosiologi dan ilmu keperilakuan. Apabila memasuki tatanan adjudication yang sudah dikemas dalam teks hukum itu, maka kita tidak lagi bergerak pada arah berhukum subtansial. Dengan demikian diperlukan semacam mekanisme agar hukum artifisial maka berhukum secara subtansial memang muncul dari pertimbangan akal sehat dan dikendalikan oleh akal sehat tersebut.
Perubahan memiliki akibat yang sangat luas dan mendalam, oleh karena itu hukum bergeser dari sebuah institusi moral menjadi suatu instrument dan teknologi. Hukum modern tidak lagi sepenuhnya merupakan institute mural, melainkan juga birokrasi yang sarat dengan prosedur. Sebagai Negara hukum Indonesia membutuhkan para profesional hokum untuk menggerakan roda Negara hukum tersebut. Salah satu hasil dari pembelajaran profesional adalah terciptanyasuatu pola dan cara berpikir tertentu para profesional dibidang hukum.
Perilaku hukum melalui teks merupakan perilaku yang unik, oleh karena tidak alami. Maka semakin mapan system hukum dan semakin ekstensif hukum dugunakan, semakin menonjol perilaku berhukum orang dalam masyarakat. Berhukum melalui teks dimulai dengan pengetahuan mengenai isi teks yang kemudian diendapkan ke dalam apa yang disebut kesadaran hukum dan dari kesadaran hukum itu melahirkan suatu sikap hukum dan dari sikap itu baru lahir perilaku hukum. Berhukum melalui perilaku itu adalah melakukan perbuatan subtansial tenpa menyadari, bahwa sesungguhnya ia sedang melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam teks. Hukum itu mengatakn bahwa (1) hakim mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang; (2) hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat; (3) dalam menimbang berat ringannya pidana, hukum wajib memerhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh. Itulah skema yang disediakan oleh hukum dan harus diisi oleh hakim-hakim kita. Dengan demikian hakim itu bukan sekedar skema tetapi perilaku.
Sekalipun institut dan kekuatan sosial- politik lama hampir dibabat oleh Negara pemegang hegemoni kekuasaan. Kendati demikian, orde Negara tidak dapat menghilangkan kekuatan sosial-politik lamayang digusurnya. Dimana kekuatan-kekuatan tersebut muncul menandingi orde Negara yang disebut perilaku hukum di luar Negara. Bahwa cara berhukum itu tidak dapat diwadahi dengan ketat hanya dalam wadah Negara yang resmi. Kaum positivis mengeliminasi perilaku sebagai bagian penting dari hukum dan mengatakan bahwa hukum adalah suatu sistem rasional. Masyarakat itu bukan suatu bangunan yang simetris melainkan memuat banyak kesimpangsiuran yang muncul dari sekian banyak interaksi antara para anggota masyarakat. Masyarakat adalah ajang dari sekian banyak interaksi yang dilakukan antara orang-orang yang tidak memiliki kekuatan yang sama sehingga terjadilah suatu hubungan berdasar adu kekuatan (power relationship). Maka muncul tatanan asimetris. Diluar sistem teks, hokum adalah perilaku manusia dan yang terakhir ini menjadilakan hokum itu kompleks serta tidak dapat diramalkan dengan tepat. Membaca peta perilaku adalah membaca proses-proses yang cair sedangkan teks dan sistem teks itu adalah finite scheme.
Pendidikan hukum adalah suatu tipe pendidikan yang benar-benar mampu melahirkan perilaku hukum subtansial. Sejak munculnya hukum modern maka perjalanan hukum menghadapi simpangan yaitu antara memburu keadilan dan menerapkan hukum. Pembangunan hukum yang memerhatikan dinamika otonom dari masyarakat dalam berhukum tidak akan segera membuat suatu perencanaan yang dianggapnya baik, melainkan memerhatikan bagaimana masyarakat akan bereaksi terhadap rencana tersebut. Perubahan subtansial oleh masyarakat akan lebih besar kekuatannya daripada perubahan yang direncanakan secara rasional oleh negara. Merencanakan hukum adalah suatu tindakan sengaja yang dilakukan dengan perhitungan rasional.
Hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakatnya, maka cara berhukum suatu bangsa adalah unik dan bervariasi sesuai dengan kehidupan sosialnya. Kembali ke alam adalah asas besar moral yang baik sekali dalam berhukum. Hukum tidak hanya dapat melihat ke dalam dirinya sendiri dan berjalan serta berbuat apa yang ia kehendaki. Oleh sebab itu, hukum tidak boleh berlawanan dengan alam kecuali menghasilkan hukum yang buruk. Fundamental hukum adalah kembali ke alam karena lebih praksis yang lebih jujur dan otentik. Berhukum secara subtansial adalah berhukum yang memerhatikan ordinatnya dengan lingkungan. Bertolak dari optik dan persepsi yang demikian, maka setiap kali hukum gagal untuk merangkul alam, dipastikan akan terkena penalti.
Masyarakat yang baik adalah yang mampu bertahan dengan menata dirinya dengan menggunakan cara-cara membangun kehidupan yang baik. Dasarnya adalah membangun perilaku baik para anggota masyarakatnya, bukan dengan membuat perturan formal. Kvutza adalah suatu kelompok besar dimana anggota-anggotanya terlibat terus-menerus secara primer melalui interaksi tatap muka. Dengan demikian kontrol informal sangatlah efektif sehingga kurang memerlukan kontrol formal. Kebenaran fundamental apabila secara ekstrem adalah bahwa manusia dapat membangun suatu kehidupan yang baik tanpa hukum, tetapi tidak tanpa perilaku yang buruk dalam lingkungan masyarakat.
Hidup dengan baik menciptakan dan menjaga keseimbangan sehingga hidup bersama-sama dengan orang lain benar-benar menjadi kenyataan. Ternyata cukup banyak faktor yang turut menentukan apakah seseorang akan ditahan atau tidak, seperti : (1) ras/ etnis, (2) sifat serius aturannya, (3) bukti yang ada, (4) keingin pengadu, (5) hubungan sosial antara pengadu dan pelaku, (6) seberapa jauh menghormati polisi. Di atas sistem hukum yang baik tetap jauh lebih diperlukan masukan budi pekerti yang baik dan luhur. Perilaku hokum mempunyai subtansi atau bahan baku yang tidak lain adalah perilaku manusia. Oleh sebab itu, hukum tidak mampu menggantikan sifat-sifat perilaku baku manusia.