Minggu, 26 April 2009

Filsafat

Pendidikan Filsafat
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban manusia. Ia selalu terkait berkelindan satu sama lainnya. Tidak terkecuali sejarah filsafat ilmu. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini. Sejarah ilmu pengetahuan mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM). Di mana periode ini ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigm shift) dari hal-hal yang berbau mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio.
Persoalan sejarah ilmu pengetahuan tidak berhenti di situ saja, selanjutnya terjadi semacam saling tarik-menarik yang saling mendominasi antar berbagai ide pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia ilmu yang beraras pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan kemaslahatan manusia itu sendiri menjadi semacam tonggak dasar dari munculnya perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat dari fenomena pertentangan yang bahkan saling melemahkan dalam dunia filsafat Yunani kuno hingga zaman-zaman selanjutnya. Contoh hal tersebut adalah perbedaan pandangan paham rasionalisme yang dianut Plato dengan paham empirisme yang dianut Aristoteles dalam usaha mencapai kebenaran ilmu pengetahuan kealaman.
Mendekati abad pertengahan masehi, fenomena dunia mitos yang telah diselimuti kabut logis-rasionalis mulai muncul kembali. Sejarawan ilmu pun mencatat masa ini dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan yang bercirikan teosentris (berpusat pada kebenaran wahyu). Para pemikir ini, seperti Thomas Aquinas (Gahral, 2002) mencoba membuktikan kebenaran wahyu dengan tetap mengikutkan rasio. Tetapi posisi rasio atau akal saat itu hanyalah sebatas sebagai hamba perempuan bagi teologi (ansilla teologia). Filsafat menjadi abdi dari teologi di mana pemikiran filosofis digunakan untuk mendukung wahyu. Sementara kebenaran yang didapat melalui teori ilmiah dibungkam apabila tidak sesuai dengan otoritas ajaran wahyu. Masa inilah yang kemudian dikenal masa suramnya ilmu pengetahuan.
Sejak munculnya kembali paham teosentris, ilmuwan rasionalisme yang bersikukuh dalam pendiriannya terus berjuang untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern, semangat tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, kredo, nilai dan lain sebagainya. Masa inilah yang kemudian melahirkan “Renaisan” (yang berarti kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan serta diikuti “Aufklarung” (pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu pengetahuan dengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme dan bebas nilai.
Ide netralisme ilmu pengetahuan ini semakin menunjukkan eksistensinya ketika para filosof Inggris seperti David Hume (1711-1776) dan Jhon Locke (1632-1704) memberikan reaksi kerasnya terhadap pemikiran rasionalisme. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan melalui pengalaman inderawi (empirisme), bukan penalaran rasio. Pertentangan tersebut terus berlangsung hingga muncul seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang membawa ide sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Ia berpendapat bahwa rasio dan empiri sama-sama memiliki peran sebagai sumber pengetahuan di mana kesan-kesan empiri dikontruksikan oleh rasio menjadi teori/konsep pengetahuan. Sementara di luar rasio dan empiri tidak memberikan arti apa-apa bagi ilmu pengetahuan. Dengan begitu ide sekularisasi tetap kokoh pada tempatnya semula. Sebaliknya ia seolah mendapat kekuatan baru dalam mempertahankan eksistensinya.
Ide netralitas ilmu pengetahuan baru mendapat legitimasinya pada zaman modern ketika muncul Filsafat Positivisme yang dimotori oleh Auguste Comte (1798-1857) di mana pemikiran-pemikirannya tertuang dalam bukunya yang berjudul “The Course of Positive Philosophy” yang berisi garis-garis besar prinsip positivisme-nya. Ia berpendapat bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Tanpa ada pengaruh apapun di luarnya (objektif) karena realitas itu independen dari subjek. Dengan begitu paham ini juga mengenyampingkan realitas metafisika, termasuk di dalamnya mitologi dan hal-hal yang bersifat esoteris lainnya seperti nilai.
Diantara ciri-ciri posistivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang ‘bebas nilai’ atau ‘netral’ atau ‘objektif’. Inilah yang menjadi dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realita dengan bersikap imparsial-netral. Ciri lainnya adalah ‘mekanisme’, yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin.
Paham posistivisme di atas telah menjadi wacana filsafat ilmu yang sangat mendominasi pada abad ke-20. Hingga dari semakin pervasifnya dominasi tersebut, positivisme bukan hanya menjadi bagian dari paham filsafat ilmu, menurut Ian Hacking ia juga telah dianggap menjadi semacam agama baru karena ia telah melembagakan pandangan-pandangan menjadi doktrin bagi berbagai bentuk pengetahuan manusia, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas nilai, objektif, dan sekularismenya.
Meski demikian paham ini mendapat sorotan tajam dari kalangan ilmuwan. Dari beberapa pemikir yang mempermasalahkan tersebut adalah Karl R. Popper, para filsuf Frankfurt Schule, Feyerabend, Withehead, Nashr, Al-Attas, Paul Illich dan lainnya. Mereka menemukan fakta bahwa ilmu itu mesti terikat oleh nilai, subjek dan tidak netral. Di balik klaim bebas nilai, tersemunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri.
Perbincangan seputar paradigma ilmu bebas nilai, objektif dan netral yang diusung positivisme inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk mengkajinya lebih mendalam. Penulis melihat realita yang ada di kalangan ilmuwan, baik barat maupun muslim, masih saja berpegang teguh pada paradigma tersebut dengan berbagai alasan, di samping juga ada yang menentangnya dengan beragam argumen yang melemahkan ide tersebut.
Selain itu paradigma netralitas sain juga penting untuk dikaji karena pemahaman ini terkait dengan dengan pemahaman sain, di mana banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sain. Paham bahwa sain itu netral atau terikat oleh nilai akan mempengaruhi hubungan cara kerja sain dan manusia itu sendiri.

Ide Dasar Netralitas Ilmu
Kata “netral” biasanya diartikan tidak memihak atau imbang atau murni. Dalam isitilah “ilmu netral” atau “sain netral” maupun “netralitas ilmu” berarti bahwa ilmu itu tidak memihak pada apapun termasuk kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Ilmu berdiri sendiri (independent) tidak terpengaruh oleh apapun. Kebaikan atau keburukan adalah hal lain di luar permasalahan keilmuan. Keduanya adalah nilai yang sama sekali tidak boleh mempengaruhi ilmu. Itulah sebabnya kemudian istilah “netralitas ilmu” atau semacamnya sering juga disebut dan diganti dengan istilah ilmu yang bebas nilai (value free).
Di samping kedua istilah tersebut, yang secara jelas menunjukkan saling keterkaitannya, juga dikenal dengan istilah lain berupa “ilmu objektif”. Artinya bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dari gugusan teori yang didapat dari objek pengetahuan yang berupa data-data fakta empiri (semesta). Data-data tersebut harus sesuai dengan fakta empiri tanpa melibatkan karakteristik tertentu di luar objek ilmu itu sendiri termasuk dari seorang ilmuwan. Hal yang berada di luar objek ilmu berfungsi sebagai subjek. Ilmuwan misalnya hanyalah sebagai subjek yang mengamati/meneliti objek dan menyimpulkan fakta-fakta empiri darinya. Fakta-fakta tersebut disusun sebagai teori-teori pengetahuan yang independen tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat subjektif. Teori-teori yang dikumpulkan dari fakta objek terSebut kemudian disebut dengan ilmu. Karena ilmu itu terbentuk dari fakta-fakta empiris dari objek maka kemudian ia disebut dengan ilmu yang objektif.
Kebenaran objektifitas ilmu hanya dapat dinilai ketika unsur-unsur subjektifitas ilmu tersebut tidak mempengaruhinya atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari bangunan teori-teorinya. Dalam hal ini berarti unsur-unsur subjektifitas ilmu dihilangkan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa keyakian-keyakinan, kepercayaan, paradigma, kepentingan, nilai dan lain sebagainya.
Sampai di sini, jelas dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan akan dikatakan objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur lain di luar dirinya, termasuk nilai (value free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur lainnya, maka ilmu dalam keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada sesuatu apapun kecuali pada dirinya sendiri (independent).
Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan, mencoba meminimalisir subjektifitas di luarnya, bahkan berusaha untuk menghilangkan subjektifitas itu sendiri. Paradigma netralitas ilmu ini meyakini bahwa semakin objektif (terbebas dari nilai) ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran (positif).
Paradigma netralitas ilmu atau bebas nilai ini pertama kali dianut serta dikembangkan oleh paham positivisme dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan. Paham ini memandang bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir secara langsung melalui data inderawi. Data-data inderawi ini adalah satu. Apa yang dipersepsi adalah fakta sesungguhnya, tanpa melibatkan unsur diluarnya.
Sebuah masalah keilmuan harus dirumuskan sedemikian sehingga pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif, bebas nilai dan netral. Objektif artinya bahwa data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya dengan karakterisktik individual dari seorang ilmuwan (Senn). Bebas nilai berarti dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral. Sedangkan netral berarti ilmu tidak memihak pada selain dirinya sendiri.
Untuk memperkokoh pandangannya tersebut, positivisme menetapkan syarat-syarat bagi ilmu pengetahuan, yaitu : dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). Dengan begitu objek ilmu pengetahuan harus berupa fakta-fakta empiri (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh subjek peneliti. Di mana itu berarti bahwa hal-hal yang tidak dapat diindera oleh manusia – sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri – tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.
Karakteristik ilmu pengetahuan adalah bahwa ia harus didapat melalui metode ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hyphotetico-verificatif. Metode ini terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu sesuai dengan aturan berpikir yang logis, rasional atau masuk akal (logico), dan bukan melalui aturan kepercayaan atau keyakinan-keyakinan mistis. Kemudian dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapat ditarik hipotesis (hypothetico). Dari hipotesis tersebutlah kemudian ilmu pengetahuan harus dapat membuktikannya secara empiris (verificatif).
Aliran filsafat yang sependapat dengan positivisme ini adalah positivisme logis, empirisme, realisme, essensialisme dan objektivisme. Aliran-aliran tersebut mendasarkan pandangannya pada prinsip-prinsip tertentu. Realisme misalnya memiliki prinsip mutlak sebagai barikut : 1) kita memersepsi objek fisik secara langsung, 2) Objek ini adanya tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu di dalam ruang, 3) ciri khas objek ini seperti apa adanya sebagaimana kita memersepsinya (Rand, 2003).
Pada tahap selanjutnya paham netralitas ilmu (sain) terus berkembang dan dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai ide dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Meski kemudian sempat terjadi pertarungan yang sengit selama kurang lebih 250 tahun antara ilmuwan yang berpegang pada prinsip “ilmu bebas nilai dan netral” atau objektif, dengan ilmuwan yang berkeyakinan bahwa ilmu itu terikat oleh nilai, tidak netral dan penuh dengan keterkaitan subjektif, namun pandangan netralitas ilmu terus memenangkan idenya tersebut.
Realitas sejarahpun kemudian mencatat bahwa ilmu pengetahuan mengalami kemajuannya yang signifikan ketika paradigma “ilmu yang bebas nilai” tersebut benar-benar menjadi prinsip para ilmuwan dalam mengembangkan pengetahuannya, terutama di bidang ilmu pengetahuan alam.

Menyoal Netralitas Ilmu
Ilmu bebas nilai dalam artian ia tidak terikat oleh sesuatu apapun di luar objeknya sendiri serta ilmu pengetahuan netral, seolah telah menjadi diktum resmi yang dijadikan aras yang kokoh bagi pengembangan keilmuan modern.
Namun begitu, sejarahpun mencatat bahwa klaim ilmu bebas nilai kemudian ditentang oleh banyak kalangan dalam komunitas keilmuan itu sendiri. Bahkan hingga saat ini pertentangan itu semakin sengit terutama datang dari kalangan panganut paham etika, estetika, agama, sosial, budaya dan lainnya.
Fenomena yang ada, sejak zaman Yunani kuno pun, di mana etika dan estetika mendapat tempat kehormatannya yang tinggi, klaim bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh nilaipun sudah menggejala. Lihat misal ideal Aristoteles tentang ilmu pengetahuan yang berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan satu sama lain. Realitas objek dan subjek saling berkaitan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan.
Ilmuwan di zaman kontemporer pun berpendapat demikian. Mereka berasumsi dasar bahwa; (Gahral, 2002) Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Kedua, falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, kemugkinan muncul fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas melainkan sarat nilai. Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukan reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang sarat persoalan dan senantiasa berubah.
Mereka juga mengatakan bahwa ilmuwan bekerja dalam kerangka sistem kepercayaan atau paradigmanya masing-masing. Bahwa alam ini tidak menguraikan dirinya sendiri. Ia terbentuk menjadi teori ilmu yang berangkat dari beberapa set cara pandang, pemikiran, pengaruh personal, pertimbangan kekelompokan, sosial, nilai dan lainnya. Maka kemudian ilmu tidaklah bebas meski diupayakan kearah itu. Objektifitas ilmu mesti berdampingan dengan subjektifitasnya dan nilai-nilaipun selalu mendampinginya.
Terkait dengan ilmu yang terikat nilai itu, ilmuwan pun mengkaji tentang apa hakikat nilai itu sendiri, yang kemudian meniscayakan mentalnya pendapat netralitas ilmu pengetahuan oleh nilai. Menurut Paul Edwards dalam bukunya The Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai yang digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Lebih lanjut maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada suatu benda hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di mana hal tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Louis O. Katstoff (2000) berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk, benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.
Dari pendapatnya itu ia kemudian memberikan gambaran bahwa situasi nilai setidaknya meliputi; (a) suatu subjek yang memberi nilai – yang sebaiknya kita namakan ‘segi pragmatis’; (b) suatu objek yang diberi nilai- yang sebaiknya diberi nama ‘segi semantis’; (c) suatu perbuatan penilaian atau (d) suatu nilai ditambah perbuatan penilaian.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan organik antara nilai dan fakta alam yang kemudian mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan itu sendiri. Fakta secara intrinsik memiliki nilainya tersendiri sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang mencoba mempengaruhinya. Fakta tidak dapat menghindari nilai-nilai dari luar dirinya karena ia tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu itu bukan hanya demi kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga demi kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat dinafikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai.
Permasalahan netralitas sain yang lain terus mendapat sorotan tajam dari berbagai ahli. Karl Raimund Popper (1902-1994), seorang pemikir Jerman yang juga aktif dalam Lingkaran Wina mempermasalahkan objektifitas ilmu dengan berpendapat bahwa kita tidak pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah mencapai kebenaran lewat verifikasi terhadap fakta meski juga kita dapat semakin mendekati kepastian semacam itu lewat pengguguran teori-teori yang terbukti salah (falsifikasi).
Lebih lanjut, menurutnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan terhadap permasalahan-permasalahan di luar objeknya sendiri. Yaitu terikat dengan nilai-nilai subjektifitasnya seperti hal-hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Thomas S Kuhn, seorang ilmuwan fisika dan sejarawan filsafat ilmu berpendapat bahwasanya ide netralitas ilmu atau bebas nilai hanyalah sekedar ilusi (Kuhn, 1962). Dia menyatakan bahwa paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tak bisa mengumpulkan ‘fakta’: dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampaknya cenderung sama-sama relevan. Akibatnya pengumpulan fakta tahap awal jauh lebih berupa kegiatan acak jika dibandingkan dengan kegiatan yang telah diakrabi dalam perkembangan ilmu lebih lanjut.
Lebih sederhana dan jelas Kuhn membahas ketidaknetralan ilmu pengetahuan itu karena memang ilmu dibangun berdasar pijakan seorang pakar yang mungkin berbeda dengan pakar lainnya. Di mana pijakan tersebut telah memuat nilai ataupun kepentingan berbentuk ‘paradigma’.
Secara lebih gamblang, Kuhn memperkuat pendapatnya dengan teori revolusi sain. Ia menilai adanya prinsip ketidakberbandingan teori ilmu pengetahuan antar masa eksistensinya. Prinsip itu hendak mengatakan bahwa kesinambungan antar teori adalah mustahil karena masing-masing bekerja di bawah payung paradigmanya masing-masing. Tentang hal ini Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut :
Sain normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seorang pakar. Dalam perkembangannya sain normal mengalami fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma satu ke paradigma lain dengan pijakan dasarnya sendiri-sendiri (prinsip ketidak berbandingan teori).
Lebih jauh dari itu Kuhn menolak asumsi sejarah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan lebih disebabkan karena ilmu itu telah berhasil mengesampingkan nilai dan subjektivitasnya dari dirinya sendiri. Paham perkembangan ilmu pengetahuan adalah bahwa kebebasannya dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, dan posisinya yang netral memungkinkannya dengan leluasa mengembangkan dirinya. Sebaliknya apabila ia terikat dengan nilai atau kepentingan maka dia tidak akan berkembang.
Bagi Kuhn, kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu komunitas ilmu pengetahuan. ini berarti perjuangan konpetitif dan legitimasi intersubjektif dari komunitas ilmu itu sendiri telah sarat dengan kepentingan dan nilai. Tetapi meski begitu ilmu pengetahuan tetaplah berkembang.
Reaksi keras terhadap ide netralitas sain datang dari Mazhab Frankfurt yang menegaskan bahwa klaim bebas nilai itu menunjukkan vested interest. Di balik klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri. Para pemikir Frankfurt seolah ingin menjelaskan bahwa ide rasionalisme dan empirisme untuk melepaskan diri dari dunia mitos, dikotomi fakta dan nilai hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan manusia dan alam itu sendiri ke dalam mitologi rasio.
Senada dengan itu Kuhn pun berpendapat bahwa ilmu ‘normal’ adalah bagian dari upaya dogmatis, jika kita menganggap teori-teori ilmiah yang sudah ketinggalan zaman seperti dinamika Aristotelian, kimia, flogistis, atau termodinamika kalori sebagi mitos, menurut Kuhn, kita bisa sama-sama bersikap logis untuk menganggap teori-teori saat ini sebagai irasional dan dogmatis:
“Jika kepercayaan atau keyakinan yang sudah usang ini akan disebut mitos, maka mitos itu dapat dihasilkan oleh jenis-jenis metode yang sama dan diakui oleh jenis-jenis alasan yang sama yang sekarang menghasilkan pengetahuan ilmiah. Jika di pihak lain kepercayaan-kepercayaan itu akan disebut sain, maka sain telah mencakup kumpulan kepercayaan yang sangat bertentangan dengan apa yang kita akui hari ini.” (Kuhn, 1962)

Mazhab Frankfurt menolak dikotomi fakta/nilai karena berpengaruh negatif baik secara epistemologis maupun sosiologis. Mereka menilai bahwa dikotomi tersebut akan membuat akal manusia menjadi akal instrumental. Akal yang sifatnya manipulatif, kalkulatif, dominasi terhadap semesta yang hanya berurusan dengan perangkat teknologis dan lupa akan tujuan hidup manusia itu sendiri. Maka, agar hal tersebut tidak terjadi, nilai-nilai harus menjadi penyeimbang dominasi rasio. Dengan demikian kemudian ilmu akan terikat dengan kepentingan, karena memang seharusnya begitu.
Habermas dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968) mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan. Ide netralitas ilmu pengetahuan yang tidak berpihak kepada apapun hanya akan membutakan ilmuwan terhadap kepentingan atau tujuan yang mendasari sebuah penelitian ilmiah. Di mana kebutaan tersebut akan menjadi-jadi, hingga timbul persoalan-persoalan sosial-etis bahkan hingga mencapai proses dehumanisasi manusia itu sendiri sebagai pemilik ilmu dan teknologi.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi terhadap lepasnya secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap persoalan-persoalan tersebut, karena mereka hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan keilmuan yang sudah diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Dengan begitu jika ilmuwan cuci tangan terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan menurut penulis.
Sosok filosof lain yang juga menentang ide netralitas ilmu adalah Paul Feyerabend (1924-1994). Ia berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada fakta yang netral. Fakta tidak pernah bicara dengan sendirinya melainkan diinterpretasikan dalam suatu kerangka konseptual tertentu. Ian Hacking pun menambahkan pendapat ini dengan mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya diinterpretasi malainkan juga diitervensi. Ketika sebuah teori mengemuka dan mencoba melakukan konfirmasi empirisnya lewat eksperimen, maka eksperimen tersebut mengintervensi fakta-fakta sehingga tidak lagi netral.
Setidaknya ada dua argumentasi Feyerabend yang dapat menggugurkan ide netralitas ilmu (Gahral, 2002). Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan diwarnai oleh banyak penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan melanggar aturan metodologi yang ketat, seperti intuisi, kebetulan dan imajinasi. Kedua, tidak ada fakta yang netral dan terberi, fakta dilihat dalam suatu kerangka konseptual yang berbeda-beda dari satu teori-teori lain. Dia pun kemudian bersiteguh – dengan tetap mengusung ide-ide radikalnya – bahwa pengetahuan yang selama ini dipinggirkan dalam wacana ilmu pengetahuan harus kembali diberi wewenang untuk menyuarakan kebenarannya sendiri-sendiri.
Hubungan Aksiologi Ilmu dan Netralitas Ilmu
Secara etimologis, Aksiologi berasal dari dari bahasa Yunani, axios, yang berarti nilai, dan logos, yang berarti teori. Terdapat banyak pendapat tentang pengertian aksiologi. Menurut Jujun S. Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral product.yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika.Kedua, esthetic expression. Yaitu ekpresi keindahan. Bidang ini melahirkan disiplin khusus Estetika. Ketiga, sosio-political life. Yakni kehidupan sosial politik, yang melahirkan filsafat sosio-politik. Lebih dari itu ada yang berpendapat dengan menyamakan antara aksiologi dan ilmu.
Dari beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat jelas bahwa permasalahan utama aksiologi adalah nilai. Aristoteles berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan dari satu sama lain. Farncis Bacon pun menilai bahwa aksiologi ilmu adalah terciptanya kemaslahatan manusia. Tujuannya yaitu mengusahakan posisi yang lebih menguntungkan bagi manusia dalam menghadapi alam.
Ahmad Tafsir dalam bukunya berpendapat bahwa aksiologi ilmu sekurang-kurangnya memiliki tiga garapan yaitu; 1) Ilmu sebagai alat eksplanasi, 2) Ilmu sebagai alat memprediksi, 3) Ilmu sebagai alat pengontrol.
Sedangkan istilah netralitas ilmu diartikan sebagai upaya rasionalisasi ilmu-ilmu pengetahuan dengan tanpa terpengaruh dan berkonotasi parokial seperti oleh ras, ideologi, agama, nilai dan lainnya. Itu berarti netralitas ilmu tidak terlalu memperdulikan nilai-nilai kebaikan ataupun keburukan. Ilmu hanyalah teori yang berdiri sendiri (independent) dan diusahakan benar-benar tidak terpengaruh oleh apapun. Ilmu dibiarkan berbicara tentang dirinya sendiri.
Dari pengertian singkat di atas, dapat dengan jelas terlihat bahwa antara aksiologi ilmu dan netralitas ilmu terdapat perbedaan. Bila aksiologi ilmu mementingkan adanya nilai yang dimuat oleh sebuah ilmu maka, sebaliknya netralitas ilmu mengusung ide pembebasan diri dari nilai. Bila aksiologi ilmu condong ke arah pembahasan tujuan ilmu, maka netralitas ilmu tidak demikian.
Sampai di sini penulis dapat menyimpulkan tidak adanya hubungan antara aksiologi ilmu dengan ide netralitas ilmu, yaitu terletak pada permasalahan nilainya.

Penutup
Persoalan netralitas sain sebenarnya bukanlah persoalan sederhana yang dengan mudah kita sudah menganggapnya mengerti (taken for granted). Persoalan ini penting sekali dijelaskan karena menyangkut persoalan kehidupan manusia dalam berinteraksi secara langsung dengan ilmu pengetahuan, di mana pengetahuannyalah yang akan mempengaruhi kehidupannya. Kesalahan persepsi terhadap persoalan keilmuan terutama dasar-dasarnya dapat memberikan pengaruh kesesatan pola berifikir termasuk proses kehidupannya.
Dari pembahasan terdahulu, penulis sependapat dengan ide bahwa ilmu itu tidaklah netral atau bebas nilai atau objektif. Ilmu hakikatnya selalu terkait dengan berbagai kepentingan, nilai dan lainnya, baik pada tataran ontologi, epistemolgi maupun aksiologisnya.
Selain didasarkan pada pendapat para ilmuwan yang menentang netralitas ilmu, penulis juga berpendapat bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan itu adalah berdiri dan terdiri dari bangunan teori. Bahwa teori-teori yang ada berasal dari fakta-fakta objektif. Bahwa objektifitas fakta tidak dapat diterangkan menjadi sebuah teori ketika unsur-unsur objektifitasnya berdiri sendiri tanpa ada hubungannya dengan yang lain. Bahwa juga fakta itu sendiri secara objektif telah memiliki nilainya yang melekat. Di mana nilai-nilai yang melekat tersebut tidak berarti apa-apa bagi ilmu pengetahuan kecuali hanyalah fenomena fakta yang tidak dapat dijelaskan kecuali menurut persepsi si peneliti/pengamat. Bahwa peneliti/pengamat telah memiliki ukuran-ukuran nilai yang mereka miliki.
Akhirnya penulis kutip pendapat Herman Soewardi tentang ketidaknetralan ilmu pengetahuan. menurutnya, dari sudut epistemologi, sain (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sain formal dan sain empirikal. Sain formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain formal itu netral karena ia berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun sain empirikal, ia tidak netral. Sain empirikal merupakan wujud kongkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain empirikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan-pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena dipengaruhi pijakannya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar