Kamis, 16 April 2009

KEPRIBADIAN DALAM BERBUDAYA

Masing-masing dari kita, menganggap diri sebagai seorang yang memilki pendapat pribadi, kegemaran dan keanehan sering kita membanggakan diri, karena beberapa hal, kita masing-masing berbeda dengan orang lain. Namun, mengherankan sekali bahwa reaksi kita serupa terhadap fenomena-fenomena tertentu. Khususnya terhadap cara-cara bertingkah laku atau kepercayaan yang sangat berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan kita, maka kita menunjukkan reaksi yang sama. Meskipun kita memiliki sifat-sifat yang sangat menonjol perbedaannya, namun bila berkenalan dengan pola-pola kelakuan dalam masyarakat lain, maka pola-pola memeberikan kesan yang sama pada kita. Hal itulah yang menjadi dasar terhadap apa yang terjadi dalam kehidupan dalam bermasyarakat para remaja masa kini, yang cenderung lebih berminat pada pola-pola yang negatif.

Tak dipungkiri bahwa budaya memang bisa berubah, walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu, kita harus mengingat bahwa kebudayaan tidaklah bersifat stastis karena selalu dapat berubah sewaktu-waktu seiring berkembangnya kemajuan IPTEK dan berbagai pengaruh dari kebudayaan barat yang justru bertentangan dengan kebudayaan timur, yang di dasari oleh petunjuk agama.

Keterkaitan antara hubungan keluarga dengan kekerabatan menjadi suatu pengaruh dalam perubahan budaya, paling tidak dalam hubungan tersebut dapat memepengaruhi alur pemikiran seseorang dalam memilih jalan hidupnya. Dalam suatu kehidupan akan terjadi berbagai peristiwa yang dapat membawa seseorang dalam mendapatkan suatu kehidupan yang baru dan hal yang baru tersebut membawa pengaruh yang sangat kognitif dalam hidupnya. Menurut Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu. Faktor biologis misalnya, sistem syaraf, proses pendewasaan, dan kelainan biologis lainnya, sedangkan faktor psikologis adalah seperti unsur temperamen, kemampuan belajar, perasaan, keterampilan, keinginan dan lain-lain. Dan yang terakhir, adalah faktor sosiologis. Kepribadian dapat mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan lain-lain yang khas dimiliki oleh seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain. Ketiga faktor di atas adalah faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian.

Jika menilik pembagian keilmuan seperti yang diungkapkan oleh Wilhelm Dilthey dan Heinrich Rickert, mereka membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua bagian, yaitu Naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam) dimana dalam proses penelitiannya berupaya untuk menemukan hukum-hukum alam sebagai sumber dari fenomena alam. Sekali hukum ditemukan, maka ia dianggap berlaku secara universal untuk fenomena itu dan gejala-gejala yang berkaitan dengan fenomena itu tanpa kecuali. Dalam Naturwissenschaften ini yang ingin dicari adalah penjelasan (erklären) suatu fenomena dengan menggunakan pendekatan nomotetis.

Hal lain adalah Geisteswissenschaften (ilmu pengetahuan batin)atau oleh Rickert disebut dengan Kulturwissenschaften (ilmu pengetahuan budaya) dimana dalam tipe pengetahuan ini lebih menekankan pada upaya mencari tahu apa yang ada dalam diri manusia baik sebagai mahluk sosial maupun mahuk individu. Terutama yang berkaitan pada faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berperilaku dan bertindak menurut pola tertentu. Upaya memperoleh pengetahuan berlangsung melalui empati dan simpati guna memperoleh pemahaman (verstehen) suatu fenomena dengan menggunakan pendekatan ideografis.

Teori kebudayaan adalah usaha untuk mengonseptualkan kebermaknaan itu, untuk memahami pertalian antara data dengan manusia dan kelompok manusia yang mewujudkan data itu. Teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supranatural.

Tanpa adanya pengaruh dari unsur budaya lain yang masuk pada satu budaya dalam masyarakat tertentu, pasti akan berubah seiring dengan berjalannya zaman. Hal itu disebabkan karena pola-pola pemikiran seseorang yang cenderung lebih dominant pada hal-hal yang baru, meskipun hal-hal yang baru tersebut tidak semuanya bersifat membangun dan bernilai postif. Sebab hal ini mempengaruhi terhadap kosep-konsep budaya yang meraka terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pengaruh globalisasi yang sudah didoinasi oleh gaya kapitalis dan pemikiran liberalis secara perlahan sudah berusaha menggrogoti nilai-nilai moral yang mengakibatkan tidak beradab seperti, dengan maraknya pornogarfi dan pornoaksi yang mengatasnamakan seni dan memungkir balikan nilai-nilai budaya adat ketimuran yang dahulu selalu menjaga nilai kemanusiaan yang beradab, namun kini kapitalis yang mengusung pemikiran liberalis dengan kebebasan tanpa batas, sesungguhnya sudah menurunkan arti peradaban yang dahulu selalu dijunjung tinggi .

Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu:

  • Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
  • Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
  • Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
  • Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
  • Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.

Hampir selalu, yang menjadi acuan untuk menilai satu budaya yang baik itu seperti apa, subjektifitas dalam kelompok atau bangsa akan selalu hadir. Baik dan buruk dapat dilihat dari kacamata masing-masing, tergantung siapa yang melihat. Bisa saja baiknya nilai budaya satu kelompok itu dianggap buruk nilai. Dan kebalikan dari itu, buruknya nilai budaya satu kelompok bisa saja menjadi satu nilai yang baik menurut yang lain. Budaya seks bebas misalnya, oleh mereka yang menganggap seks bebas sebagai sesuatu yang biasa, tentu budaya seks bebas dapat menjadi baik. Padahal, pada umumnya budaya seks bebas ini memiliki nilai hakiki buruk di dalam dirinya. Kenyataan inilah yang akhirnya membawa nilai baik dalam budaya itu menjadi relatif

Sesuai perkembangan jaman, budaya yang sering diartikan sebagai daya cipta, karsa, dan karya manusia dalam artian positif mengalami dekandensi pemaknaan. Hampir semua yang dapat dihasilkan oleh manusia, saat ini bisa diketegorikan sebagai budaya. Padahal hal ini tentu mendistorsi nilai dasariah awal budaya itu sendiri. Budaya yang dahulu diidentikkan sebagai pancaran dari nilai-nilai yang “ baik” telah dirubah menjadi sosok yang lebih beragam dan berwarna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar