Minggu, 26 April 2009

sumber ilmu

Sumber Ilmu
Apabila seorang manusia menemukan kesadarannya, ia menuntut untuk hidup dalam apa yang disebutnya kebenaran. Apa yang benar bagi seseorang adalah apa yang sesuai dengan kesadarannya, yang disetujuinya, yang dianggapnya baik, yang dianggapnya mempunyai nilai, dan yang dapat dijadikan pegangan dalam bertindak. Kebenaran adalah sesuatu yang kita mengatakan "ya" kepadanya.
Ilmu pengetahuan dan kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Ilmu pengetahuan dan kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemukannya.
Akan tetapi, apa yang disebut ilmu pengetahuan dan kebenaran bukanlah sesuatu yang sifatnya statis. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu terlalu kaya, berkembang, tumbuh, dan memperkaya dirinya tanpa batas. Sebab, ilmu pengetahuan dan kebenaran itu berada di luar alam manusia. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu merupakan suatu ide yang bersifat mengatasi tempat dan waktu manusia dan telah ada sebelum mereka ada. Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu merupakan suatu esensi, suatu hakikat, suatu ide yang mendahului keberadaan alam ini.
Inilah sebabnya manusia tidak pernah puas setelah menemukan ilmu pengetahuan dan menyadari suatu kebenaran. Manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan kebenaran itu terlalu luas, tetapi kodrat manusia itu terlalu terbatas. Meskipun demikian, kebahagiaan sejati manusia adalah menggabungkan diri dengan keabadian yang menampung kebenaran itu. Manusia menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan kebenaran tak mungkin dicapai; ia harus terus berusaha mencari dan menemukannya.
Bagaimana manusia mencari ilmu pengetahuan dan dapat menemukan kebenaran? Secara kodrati, manusia memiliki sejumlah potensi kejiwaan dalam dirinya. Manusia mempunyai potensi pikir, potensi indriawi, potensi merasakan, dan potensi untuk percaya. Semua potensi tersebut dapat digunakan dan dikembangkan dalam mencari ilmu pengetahuan dan menemukan kebenaran.
Indra, akal, & hati
Indra yang terdiri atas penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasaan merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran yang bersifat empiris. Apabila rusak, pancaindra di atas tidak akan berfungsi atau berguna sama sekali sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran mengenai benda-benda yang bersifat empiris.
Indra menjadi sangat penting sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran karena melalui indralah kita mampu mengenal dunia sekeliling kita. Melalui mata kita mampu mengetahui bentuk, keberadaan, serta sifat-sifat atau karakteristik benda yang ada di dunia. Demikian pula melalui telinga, kita mampu mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dicerap oleh mata, yang kemampuannya sangat terbatas dibandingkan dengan telinga, yaitu mencerap suara yang dapat menimbulkan imajinasi yang sangat kaya, sehingga kreativitas timbul daripadanya.
Demikian juga melalui indra perasa, kita mampu mengenal dimensi yang lain dari objek-objek dunia, yaitu rasa, seperti rasa manis, rasa asin, rasa pahit, dan rasa asam, yang tentunya ini tidak dapat disentuh oleh indra penglihatan ataupun pendengaran, yaitu oleh mata dan telinga.
Tidak kurang penting adanya indra penciuman, yang mampu mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak dapat dicerap oleh penglihatan, pendengaran, ataupun perasaan, yaitu rasa bau/wangi yang mampu membedakan antara bau busuk bangkai dan harumnya bunga atau parfum yang menyegarkan.
Terakhir tetapi tidak kalah pentingnya adalah indra peraba. Indra yang terakhir ini mampu membedakan antara panas dan dingin, lunak, halus, dan kasar yang sudah barang tentu tidak mampu dicerap oleh indra-indra yang telah diuraikan di atas.
Di samping sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, indra pun berfungsi sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan alat pertahanan hidup. Misalnya mata, sangat berguna untuk mengamati bahaya yang mungkin akan mengancam nyawa, seperti tertabrak kendaraan bermotor, terbakar api, atau terjerembap ke dalam tebing yang sangat membahayakan.
Melalui mata, kita mampu mengambil tindakan sebelumnya untuk menghindari bahaya tersebut di atas. Demikian pula telinga mampu menghindari bahaya-bahaya yang dicerap melalui pendengaran, misalnya bunyi klakson mobil ketika mata atau yang lainnya tidak bisa dicerapnya.
Indra lain yang tidak kalah pentingnya adalah indra perasa untuk menghindarkan diri dari makanan dan benda-benda yang beracun, membusuk, dan sebagainya. Alhasil, indra tidak hanya berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, namun juga sangat diperlukan untuk keamanan hidup dan menghindarkan diri dari berbagai marabahaya. Maka indralah yang mampu menjadi instrumen dalam kehidupan.
Sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, indra telah mampu mencukupi kebutuhan pengetahuan karena dengan pancaindralah kita mengenal lima dimensi dari berbagai bentuk fisik yang kita amati. Seperti disinggung di atas, bahwa indra mampu menghindarkan diri dari banyak bahaya yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup. Namun, kita sadari bahwa kemampuan indra sangatlah terbatas. Misalnya kita melihat burung elang dari kejauhan di pantai terlihat putih, namun begitu elang itu kita dekati dan kita tangkap, kita amati dari dekat, bulu-bulunya itu ternyata tidak putih semua. Di dalamnya ada yang kuning, abu-abu, bahkan ada yang hitam.
Demikian pula kita bisa melihat langit, bulan, bahkan bintang. Sepintas kita dapat melihat bahwa langit itu biru warnanya, bulan itu pipih seperti piring, serta bintang itu kecil dan indah. Apakah kenyataannya demikian? Ternyata tidak. Langit tidak membiru, bulan tidak pipih, bintang pun tidak kecil. Apakah kita masih akan mengandalkan indra saja sebagai sumber ilmu pengetahuan? Sudah barang tentu tidak demikian, sebab masih ada sumber ilmu pengetahuan kedua, yaitu akal.
Akal seperti pendapat Al-Ghazali (1111 Masehi) dalam kitabnya Misykat Cahaya-Cahaya memandang akal lebih patut disebut cahaya daripada indra. Pasalnya, dengan indra kita hanya dapat melihat bulan separuh saja pada suatu saat. Mata tidak bisa membuktikan adanya paruh lain dari bulan yang tidak terlihat, sedangkan akal mampu menyempurnakan bentuk bulan itu sebagai bola.
Berbicara tentang akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran bisa dibagi ke dalam dua macam, yaitu akal teoretis dan akal praktis. Akal teoretis khusus untuk menganalisis dan mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoretis. Keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek "ada" (keberadaan) atau "tiada" (ketiadaan). Dalam wilayah akal ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk pemikiran teoretis pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indra lahiriah. Sementara akal praktis berkaitan dengan tindakan yang menyangkut etika, seperti dalam tiang filsafat bahwa etika itu berada atau dibahas dalam komponen aksiologi sebagai penerapan suatu ilmu.
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran dalam epistemologi Islam dibantu oleh pancaindra batin yang cukup efektif membantu fungsi pokok akal. Ada lima macam pancaindra batin tersebut, yaitu (1) Al-Hiss Al-Musytarak (indra bersama), indra batin inilah yang menyebabkan objek indriawi muncul sebagai satu kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi data parsial yang dapat disumbangkan oleh tiap indra lahir. (2) Al-Khayal (daya imajinasi retentif), daya yang bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata, atau suara yang ditangkap telinga, dan pencerapan-pencerapan indra lainnya. (3) Al-Wahm (daya estimasi), indra batin ini dapat dapat menilai suatu benda berbahaya atau tidak, sehingga kita dapat mengambil tindakan, baik untuk menghindar maupun mendekatinya jika bermanfaat. (4) Mutakhayyilah (imajinasi), imajinasi dapat menangkap bentuk secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan dengan indra penglihatan yaitu indra penglihatan hanya bisa melihat satu bentuk dalam satu benda. Namun, imajinasi tidak hanya dapat mengabstraksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan menurut selera yang dikehendaki. (5) Al-Hafizhah (memori), memori berguna untuk melestarikan bentuk-bentuk imajiner, seperti "khayal" untuk merekam bentuk-bentuk fisik yang ditangkap oleh indra bersama. Memori menyebabkan kita bisa mengingat tidak hanya bentuk-bentuk fisik, tetapi juga bentuk-bentuk abstrak.
Akal dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra-indra kita (baik lahir maupun batin), yaitu kemampuannya untuk bertanya secara kritis. Akal dapat bertanya tentang apa, di mana, kapan, mengapa, dan siapa juga yang lainnya. Akal telah menjadi sumber informasi yang luar biasa kayanya dengan menjawab semua pertanyaan tersebut, yang tidak bisa dipasok oleh indra.
Dengan demikian, tidak bisa diragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, yang tanpanya manusia akan berada dalam kegelapan. Bagaimanakah kemampuan akal dapat dijelaskan? Itu tak lain karena akal memiliki perangkat-perangkat atau konstruksi-konstruksi mental, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kategori-kategori, seperti kategori ruang, waktu, substansi, kausalitas, relasi, dan kuantitas.
Namun, kelebihan yang paling istimewa dari akal terletak pada kemampuannya untuk menangkap esensi dari sesuatu yang diamati/dipahaminya. Dengan kemampuan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep universal dari suatu objek yang diamatinya, lewat indra yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan dengan data-data partikular. Ketika kita memahami esensi manusia, sebenarnya kita bukan lagi berbicara tentang manusia partikular a atau b, melainkan tentang manusia dalam pengertian universal atau tentang sifat dasar kemanusiaan.
Menurut Aristoteles, dengan kemampuan akal menangkap esensi (mahiyyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia bisa menyimpan jutaan "makna" atau "pemahaman" tentang berbagai objek ilmu yang bersifat abstrak, sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas di dalam pikiran kita. Namun, apakah hanya sampai indra dan akal sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran itu? Tentunya tidak, masih ada sumber ketiga (terakhir) yang lebih bersifat intuitif, yaitu hati (qalb).
Betapa pun sangat pentingnya akal, para filsuf Islam sepakat bahwa akal tetap bersifat terbatas, dan karenanya memerlukan sumber lain, yaitu hati (intuisi) yang bentuk tertingginya adalah wahyu. Bergson (1938) menyatakan bahwa akal sangat kompeten untuk menganalisis ruang, tetapi tidak tentang waktu. Untuk memahami waktu, harus menggunakan intuisi sebagai alat "metode filosofis" yang paling tepat. Akal sangat kompeten untuk memahami "pengalaman fenomenal", tetapi tidak untuk "pengalaman eksistensial".
Apa keistimewaan hati (qalb) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran dibandingkan dengan akal? Bagaimana intuisi mampu memahami banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal? Berikut ini adalah beberapa kelemahan akal dibandingkan dengan intuisi lebih unggul.
(1) Akal memang sangat berguna sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran, tetapi hanya sebagai kecakapan intelektual. Akal sering dibuat tidak berdaya terhadap persoalan-persoalan hidup yang lebih dalam, menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalnya, akal tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran kita akan menjadi buntu dan lidah menjadi kelu. Dengan kata lain, akal tidak mengerti banyak tentang pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan. Hanya hati/intuisilah yang mampu melakukannya.
(2) Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang (spatialize) apa pun yang menjadi objeknya cenderung memahami sesuatu secara general/homogen sehingga tidak mampu mengerti keunikan suatu "momen" atau "ruang" sebagaimana yang dialami secara langsung.
Bahwa setiap saat dari kehidupan kita itu unik, sulit dimengerti oleh akal. Bagi akal, satu menit di sini akan sama saja dengan satu menit di mana pun. Akal tidak mengerti mengapa bagi seseorang ada hari yang baik dan hari yang buruk, dan mengapa bagi orang-orang tertentu ada tempat-tempat sakral dan profan.
(3) Akal tidak mampu memahami objek penelitiannya secara langsung karena akal dengan menggunakan kata-kata/simbol hanya akan berputar-putar seputar objek tersebut, tetapi tidak pernah dapat secara langsung menyentuhnya. Pengenalan akal terhadap objeknya bersifat simbolis, yakni melalui kata-kata. Akan tetapi, kata-kata saja tidak akan pernah memberi pengetahuan sejati (sebagaimana adanya) tentang suatu objek yang dipelajarinya.
Dengan demikian, untuk menutupi kekurangan akal, manusia dilengkapi Tuhan dengan hati atau intuisi (qalb), sehingga akan lengkaplah seluruh perangkat ilmu bagi manusia. Berikut ini adalah kelebihan hati (qalb) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran:
Ketika akal tidak mampu memahami "wilayah kehidupan emosional manusia", hati dapat memahaminya. Hati yang terlatih akan dapat memahami perasaan seseorang, misalnya hanya dengan mendengar suara atau memandang matanya.
Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati dapat menerobos ke alam ketidaksadaran (alam gaib/religius) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman nonindewi (extrasensory perception), termasuk pengalaman mistis dan religius. Ia bisa berkomunikasi melalui "bahasa hati" dengan makhluk gaib, seperti jin, malaikat, atau bahkan dengan Tuhan sendiri, seperti yang dialami para nabi dan rasul. Ibarat radar, hati terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan terang, betapapun redupnya sinyal itu dari sudut pandang akal.
Dengan dihindarinya kecenderungan-kecenderungan generalisasi dan spasialisasi yang bersifat rasional, hati mampu melihat dan menghayati setiap peristiwa apa pun sebagai peristiwa istimewa dan partikular. Hati dapat memahami pengalaman langsung yang kita rasakan (pengalaman eksistensial), yaitu pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, dan bukan sebagaimana yang dikonsepsikan akal. Misalnya, hati inilah yang dapat mengerti mengapa rentang waktu satu jam terasa berbeda bagi yang ditunggu dibandingkan dengan bagi yang menunggu.
Hati mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan "eksperensial" atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Misalnya, ia mengerti "manis" bukan dari kata orang atau melalui bacaan, melainkan justru dengan mencicipinya. Ia juga mengerti "cinta" bukan melalui teori-teori cinta yang sering jauh berbeda dengan yang dialami, melainkan memahaminya dengan betul-betul jatuh cinta.
Dengan demikian, sudah jelaslah keistimewaan hati/intuisi daripada akal bahkan indra. Sekarang, kita mengetahui bahwa alat/sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran tidak hanya pancaindra, melainkan akal dan hati disesuaikan dengan objek-objek keilmuan yang dikaji, baik itu objek fisik, matematik, maupun metafisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar